Kualitas Pendidikan Akibat Pandemi COVID-19: Laporan SDGs Tahun 2022

HermanAnis.com – Teman-teman semua, pada kesempatan ini kita akan membahas satu topik menarik terkait laporan dari PBB terkait dengan Kualitas Pendidikan akibat Pandemi COVID-19 berdasarkan Laporan SDGs Tahun 2022. Kondisi Pandemi Covid-19 ditambah krisis dan konflik global berdampak buruk terhadap Kualitas pendidikan dan pencapaian The Sustainable Development Goals (SDGs).

Pandemi COVID-19 telah menambah krisis kualitas dan pemerataan kualitas pendidikan di dunia. Penutupan sekolah memberikan konsekuensi yang sangat mengkhawatirkan bagi pembelajaran dan kesejahteraan anak-anak, terutama bagi anak perempuan, anak kurang mampu, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, penduduk pedesaan, dan etnis minoritas.

Diperkirakan 147 juta anak melewatkan lebih dari setengah dari pengajaran tatap muka mereka selama dua tahun terakhir. Hal ini diprediksi dapat mengakibatkan mereka kehilangan pendapatan seumur hidup sebesar $17 triliun (berdasar kurs saat ini).

Olehnya itu, setiap pemerintahan perlu menerapkan program yang ambisius untuk memastikan bahwa semua anak dapat kembali ke sekolah, memulihkan ketinggalan belajar mereka, dan memenuhi kebutuhan psikososial mereka.

Baca Juga: Apa itu ESD?

Kualitas Pendidikan Masa Pendemic COVID-19
Mija Anjarasoa, mengikuti kelas catch-up di Soanierana General Education College di Manantantely, Madagaskar. Ia bercita-cita ingin menjadi bidan setelah menyelesaikan sekolahnya.
Sumber: United Nations. The Sustainable Development Goals Report, 2022.

Baca Juga: 4 Pilar Pendidikan menurut UNESCO

A. Kualitas Pendidikan akibat Penutupan Sekolah karena Pandemi COVID-19

Penutupan sekolah terkait COVID mengancam untuk menghambat kemajuan yang telah dicapai selama bertahun-tahun untuk tetap menjaga anak-anak tetap bersekolah. Sebelum pandemi, 17 persen anak dan remaja secara global tidak tamat sekolah dasar dan menengah, ini jauh menurun jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2000 yakni 26 persen.

Dari Maret 2020 hingga Februari 2022, atau sekitar 41 minggu, hampir semua sekolah di seluruh dunia ditutup sepenuhnya. Dalam dua tahun terakhir, Amerika Latin dan Karibia mengalami penutupan sekolah terlama yakni lebih dari 60 minggu.

Durasi penutupan sekolah (kehilangan kelas tatap muka), Maret 2020–Februari 2022
Durasi penutupan sekolah (kehilangan kelas tatap muka), Maret 2020–Februari 2022
Sumber: United Nations. The Sustainable Development Goals Report, 2022.

Baca Juga: Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan Indonesia

Menurut laporan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2020, 24 juta pelajar dari tingkat pra-sekolah dasar hingga universitas berisiko tidak kembali ke sekolah.

Siswa dari latar belakang yang kurang mampu memiliki risiko lebih tinggi akibat faktor sosial ekonomi seperti kebutuhan untuk menghasilkan pendapatan, tanggung jawab pengasuhan yang meningkat, dan pernikahan dini dan pernikahan paksa. Mereka yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh selama karantina juga berisiko lebih tinggi untuk tidak kembali ke sekolah.

Baca Juga: Apa itu Learning to Know dalam 4 Pilar Pendidikan Unesco

B. Capaian Pembelajaran Selama Pandemi COVID-19

Kualitas Pendidikan Masa Pendemic COVID-19
Proporsi anak yang memenuhi persyaratan minimum dalam kemampuan membaca di akhir sekolah menengah pertama (2015–2019) dan lama penutupan sekolah selama dua tahun pertama pandemi, menurut kelompok pendapatan suatu negara.
Sumber: United Nations. The Sustainable Development Goals Report, 2022.

Pandemi COVID-19 datang ketika dunia sedang bergumul dengan krisis pembelajaran, dimana begitu banyak anak yang tidak memiliki dasar-dasar membaca dan berhitung. Berdasarkan data pra-pandemi dari tahun 2015 hingga 2019, proporsi anak-anak yang memenuhi persyaratan kecakapan minimum dalam membaca di akhir sekolah menengah pertama adalah antara 70 dan 90 persen di sebagian besar negara berpenghasilan tinggi.

Proporsi itu turun di bawah 60 persen di hampir semua negara berpenghasilan menengah dan rendah, adapula yang turun menjadi kurang dari 10 persen di beberapa negara. Kerugian belajar akibat penutupan sekolah terkait COVID telah didokumentasikan pada 4 sampai 5 dari 104 negara yang telah melakukan studi ini.

Penutupan sekolah cenderung memperdalam kesenjangan dalam pembelajaran, banyak negara yang memiliki hasil belajar yang buruk sebelum pandemi. Negara-negari ini juga cenderung melakukan penutupan sekolah yang lebih lama.

Baca Juga: Pengalaman Belajar di Rumah

C. Kesenjangan dan Memburuknya Kualitas Pendidikan akibat Pandemi Covid-19

Kualitas Pendidikan Masa Pendemic COVID-19
Indeks paritas menurut jenis kelamin, lokasi, dan pendapatan, 2015–2020
Sumber: United Nations. The Sustainable Development Goals Report tahun 2022.

Baca Juga: Apa itu genarasi sandwich?

Pencapaian selama bertahun-tahun, sebelum pandemi menunjukkan trend pendidikan menjadi jauh lebih mudah diakses. Meskipun demikian, ketidaksetaraan akses tetap ada di antara berbagai kelompok sosial ekonomi.

Pada tahun 2020, misalnya, 3 dari 4 anak mengikuti suatu bentuk pembelajaran terorganisir satu tahun sebelum usia resmi sekolah dasar. Namun, berdasarkan data yang tersedia, partisipasi sangat tidak setara di setiap negara. Perbedaan kehadiran, ditemukan berdasarkan jenis kelamin (39 persen), lokasi perkotaan atau pedesaan (76 persen) dan kekayaan rumah tangga (86 persen).

Data menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung mendapat skor lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam kecakapan membaca di akhir sekolah dasar. Mereka juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan dan di rumah tangga termiskin secara konsisten lebih dirugikan dalam hal partisipasi. Hasil pendidikan anak-anak perkotaan yang lebih kaya selalu lebih baik.

Penutupan sekolah selama pandemi COVID-19 telah memperdalam ketimpangan dalam kualitas pendidikan, dengan populasi yang terpinggirkan yang paling terpengaruh. Dalam konteks pembelajaran jarak jauh, misalnya, anak-anak dari latar belakang yang lebih miskin cenderung tidak memiliki perangkat dan keterampilan komputer di perlukan untuk online, ataupun lingkungan rumah tidak kondusif untuk belajar. Memastikan kembali ke sekolah dengan aman dan pemerataan pendidikan di masa transisi yang sulit, ke depan perlu menjadi prioritas setiap Negara.

Baca Juga: Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan di Indonesia

D. Pembukaan Sekolah dan Perbaikan Layanan Pendidikan pasca Pandemi

Kualitas Pendidikan Masa Pendemic COVID-19
Tindakan tambahan diambil untuk kesejahteraan siswa setelah sekolah dibuka kembali, 2022 (persentase)
Sumber: The Sustainable Development Goals Report tahun 2022.

Salah satu kunci untuk mendorong perbaikan, keikutsertaan, dan retensi sekolah adalah memastikan fasilitas dan layanan yang memadai. Ini menjadi semakin buruk akibat pada negara miskin dan menengah ketersediaan infrastruktur di sekolah dasar tidak merata.

Pada 2019–2020, sekitar seperempat sekolah dasar di seluruh dunia kekurangan akses listrik, air minum, dan fasilitas sanitasi dasar. Hanya setengah dari sekolah dasar yang memiliki komputer dan akses atau fasilitas internet yang dapat diakses sepenuhnya, termasuk untuk anak-anak penyandang disabilitas. Di semua area ini, LCD proyektor tidak tersedia.

Pulih dari pandemi dan membangun kembali dengan lebih baik tentu membutuhkan investasi yang signifikan dalam infrastruktur dan layanan sekolah. Menurut survei baru-baru ini oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF), sekitar setengah dari negara dengan dilaporkan mengambil “tindakan tambahan yang signifikan” (berlawanan dengan “peningkatan tindakan skala kecil”) dalam layanan air, sanitasi, dan kebersihan di sekolah setelah dibuka kembali.

Proporsi ini tetap sama di seluruh negara dalam berbagai kelompok pendapatan. Namun, hanya 20 persen negara yang melakukan langkah signifikan untuk memberikan dukungan kesehatan mental dan psikososial tambahan bagi siswa. Ini cukup mengganggu, mengingat meningkatnya kecemasan dan depresi banyak muncul di kalangan pelajar.

Baca Juga: Apakah Perlu Ada Perubahan Paradigma Guru Saat Ini?

E. Sekolah Online di Ukraina dalam Kondisi Perang

Perang di Ukraina memiliki efek yang sangat merusak bagi anak-anak. Hingga Mei 2022, dua pertiga anak di negara tersebut telah mengungsi dari rumah mereka, sekitar 130 institusi pendidikan hancur dan lebih dari 1.500 sekolah rusak.

Terlepas dari tantangan ini, pendidikan di Ukraina harus terus berlanjut, pilihannya adalah pembelajaran jarak jauh, meskipun sering kali terganggu oleh sirene serangan udara. Pada April 2022, hampir 3 juta anak (mayoritas siswa usia sekolah) mengikuti kelas online. Pelajaran menggunakan video yang disiarkan melaui televisi menjadi pilihan lain.

Sekolah jarak jauh menyediakan “ruang” yang aman bagi anak-anak yang terkena dampak perang. Ini berfungsi sebagai garis hidup, memberi anak-anak akses ke informasi tentang risiko ledakan yang mematikan. Ini juga dapat menghubungkan mereka dan orang tua mereka ke layanan kesehatan dan psikososial yang penting.

Jutaan anak dan remaja di seluruh dunia berada dalam situasi yang sama seperti di Ukraina. Pembelajarannya terganggu oleh perang, bencana, dan krisis lainnya. Menyediakan pendidikan yang aman, inklusif, dan berkelanjutan bagi anak perempuan dan laki-laki tersebut sangat penting dalam membantu mereka mengatasi krisis saat ini dan di masa depan. Ini adalah salah satu investasi paling yang dapat dilakukan dalam pembangunan manusia dan sosial ekonomi.

Sumber:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close