Pentingnya Investasi di Pendidikan: Fondasi Peradaban dan Masa Depan Asia Tenggara

Asia Tenggara merupakan kawasan dengan keragaman luar biasa, baik dari segi budaya, sejarah, maupun geografi. Rentang wilayahnya sangat luas: dari Merauke di Papua hingga Nokmong di Myanmar sejauh 5.000 km (setara Boston–Los Angeles), dan dari Nokmong hingga Boa di Nusa Tenggara Timur sejauh 4.000 km (sama dengan Teheran–London). Namun, paradoksnya, kawasan ini belum mampu menarasikan dirinya dengan baik.

Menurut Gita Wirjawan, salah satu akar masalahnya adalah minimnya investasi di bidang pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan pondasi dari komunikasi, berpikir kritis, budaya, negara, bangsa, hingga peradaban. Artikel ini akan membahas secara mendalam pentingnya investasi pendidikan di Asia Tenggara—khususnya Indonesia—serta bagaimana langkah konkret dapat membawa kawasan ini menuju kejayaan di era global.

Pendidikan Sebagai Pondasi Peradaban

Gita Wirjawan menjelaskan alur sederhana namun fundamental tentang peran pendidikan:

  1. Pendidikan melahirkan kemampuan komunikasi.
  2. Dari komunikasi lahir kemampuan berpikir.
  3. Kemampuan berpikir menumbuhkan budaya.
  4. Budaya melahirkan negara.
  5. Negara melahirkan bangsa.
  6. Bangsa membangun peradaban.

Namun, peradaban hanya bisa berkesinambungan bila budaya bersifat terbuka, mampu menggabungkan preservasi (pelestarian) dengan inovasi. Tanpa keterbukaan, kesinambungan peradaban sulit dicapai.


Kondisi Pendidikan di Asia Tenggara Saat Ini

Saat ini terdapat sekitar 8.000 universitas di Asia Tenggara, dan 4.000 di antaranya berada di Indonesia. Namun, hanya dua universitas yang masuk peringkat 20 besar dunia—keduanya di Singapura.

Sebagai perbandingan:

  • Tiongkok memiliki 2.600 universitas dengan 39 juta mahasiswa, namun berhasil menghasilkan produk pendidikan kelas dunia.
  • Asia Tenggara dengan 8.000 kampus hanya memiliki 11 juta mahasiswa dan belum banyak menghasilkan intellectual property mendunia.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi besar Asia Tenggara dengan realisasi kontribusi pendidikan global.


Peran Guru sebagai Kunci Investasi

Menurut Gita, kunci pendidikan ada pada guru. Indonesia memiliki sekitar 3 juta guru dari TK hingga SMA. Namun, dengan gaji rata-rata hanya Rp2,8 juta per bulan, sulit berharap guru mampu menumbuhkan imajinasi, ambisi, dan keberuntungan (serendipity) pada murid.

Perbandingan gaji guru di kawasan:

  • Malaysia: Rp30 juta ke atas.
  • Singapura: Rp40–60 juta.
  • Tiongkok: Rp30–50 juta.

Dengan gaji rendah, sulit menarik talenta terbaik untuk menjadi guru. Padahal, hanya dengan guru berkualitas tinggi, murid dapat dibentuk untuk berimajinasi dan berambisi.


Hoki Bukan Sekadar Doa: Pentingnya Konsistensi

Keberuntungan (hoki) menurut Gita bukan sekadar doa, tetapi hasil dari latihan dan praktik konsisten. Sama halnya dalam olahraga—semakin sering berlatih, peluang sukses semakin besar. Pendidikan pun demikian: guru yang konsisten dan berkualitas mampu menumbuhkan generasi berdaya saing tinggi.


Tantangan Pendidikan di Asia Tenggara

Kurangnya Ahli Bidang Spesifik

Meskipun kaya ekosistem (gunung berapi, laut, hutan tropis), Asia Tenggara minim ahli bidang khusus. Contoh: Indonesia memiliki ratusan gunung berapi, tetapi ahli vulkanologi bisa dihitung dengan jari.

Pendidikan Universal vs Partikular

Pertanyaan penting: apakah pendidikan harus universal (mengikuti standar global) atau partikular (disesuaikan kebutuhan lokal)? Jawabannya mungkin kombinasi keduanya: pendidikan tetap relevan secara global, tetapi juga menjawab kebutuhan lokal.


Posisi Strategis Asia Tenggara

Asia Tenggara memiliki posisi strategis secara global:

  • Populasi: 700 juta jiwa (peringkat ke-3 dunia setelah India & Tiongkok).
  • PDB: USD 4 triliun (peringkat ke-6 dunia).

Dengan skala ini, kawasan harus mampu naik kelas dalam rantai nilai (value chain), memperkuat peran geopolitik, dan memperluas otonomi strategis.


Dua Jenis Pendidikan yang Paling Penting: STEM dan Filsafat

1. Pendidikan STEM

STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) merupakan kunci produktivitas. Namun, lulusan STEM di Indonesia masih rendah:

  • Indonesia: 250 ribu/tahun.
  • Asia Tenggara: 750 ribu/tahun.
  • India: 2,5 juta/tahun.
  • Tiongkok: 4,5 juta/tahun.

Jika kapasitas hanya 250 ribu/tahun, butuh 200–300 tahun untuk memaksimalkan bonus demografi Indonesia (70 juta anak di bawah 15 tahun). Solusinya adalah meningkatkan output menjadi 1 juta lulusan STEM/tahun agar target Indonesia Emas 2045 tercapai.

2. Pendidikan Filsafat

Filsafat melatih generasi muda untuk berpikir kritis dengan mempertanyakan asumsi, presupposition, dan axiom. Dengan kombinasi STEM + filsafat + spiritualitas (doa), pendidikan masa depan akan lebih seimbang antara keterampilan teknis dan refleksi kritis.


Bonus Demografi dan Urgensi STEM

Hanya 23% mahasiswa Indonesia memilih STEM, dibandingkan Malaysia (40%) dan Singapura (36%). Untuk memanfaatkan bonus demografi, Indonesia perlu menggandakan kapasitas STEM. Jika tidak, visi 2045 hanya akan jadi mimpi.

Baca Selengkapnya: Apa itu STEM?

Investasi pada Guru: Eksperimen Gaji Rp30 Juta

Gita mengusulkan eksperimen:

  • Rekrut 100 ribu guru terbaik.
  • Gaji Rp30 juta/bulan → total Rp36 triliun/tahun.
  • Anggaran pendidikan nasional hampir Rp600 triliun, sehingga sangat mungkin dialokasikan.

Dengan gaji kompetitif, talenta terbaik (yang biasanya bekerja di Google, Apple, Amazon) bisa tertarik menjadi guru. Mereka perlu dibekali filsafat dan STEM agar mampu menumbuhkan imajinasi, ambisi, dan critical thinking siswa.

Menyikapi Akselerasi Teknologi

Perkembangan teknologi global membawa peluang sekaligus tantangan baru bagi Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kemajuan seperti kecerdasan buatan (AI), otomasi, dan energi terbarukan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tidak diantisipasi dengan pendidikan yang tepat, teknologi justru memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi.

1. Ketimpangan Ekonomi Akibat Teknologi

Pertumbuhan ekonomi di kota besar jauh lebih pesat dibandingkan daerah kecil. Akselerasi teknologi mempercepat kesenjangan antara kelompok yang memiliki akses dan yang tertinggal. Pendidikan, terutama dalam bidang literasi digital dan STEM, menjadi jalan utama agar masyarakat dari berbagai daerah mampu bersaing secara setara.

2. AI dan Konsumsi Energi

Teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Gemini, hingga Sora, membutuhkan energi jauh lebih besar dibandingkan mesin pencarian biasa. Sayangnya, isu ini masih jarang dibahas dalam kebijakan nasional. Tanpa strategi energi yang jelas, Indonesia bisa kewalahan menghadapi kebutuhan listrik yang terus meningkat.

3. Keterbatasan Energi Indonesia

Konsumsi listrik per kapita Indonesia hanya sekitar 1.300 kWh, jauh di bawah standar negara maju yang rata-rata mencapai 10.000 kWh. Untuk menjadi bangsa modern, minimal dibutuhkan 6.000 kWh per kapita. Artinya, ada kesenjangan besar yang harus dikejar melalui pembangunan energi.

4. Biaya Pembangunan Energi

Untuk mencapai target 6.000 kWh per kapita, dibutuhkan investasi sekitar 2–3 triliun USD. Dengan kapasitas pembangunan listrik saat ini (3.000–5.000 MW per tahun), Indonesia butuh 60–121 tahun untuk mengejar ketertinggalan. Ini jelas tidak sejalan dengan target “Indonesia Emas 2045”.

5. Ketergantungan pada Investasi Asing (FDI)

Rendahnya tax ratio Indonesia (hanya 10% PDB) membuat ruang fiskal sangat terbatas. Untuk itu, Indonesia harus membuka diri pada investasi asing. Namun, agar investasi benar-benar masuk, penegakan hukum, tata kelola, dan kualitas SDM perlu ditingkatkan. Pendidikan berperan besar dalam membangun ekosistem ini.

6. Dampak Sosial AI

Teknologi AI hanya bisa dimanfaatkan oleh negara dengan ekonomi kuat. Jika tidak hati-hati, AI bisa memperparah elitisasi dan memperlebar kesenjangan global. Pendidikan harus memastikan distribusi keterampilan digital agar semua lapisan masyarakat bisa beradaptasi dengan teknologi baru.

7. Solusi Strategis

Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, Indonesia perlu:

  • Fokus pada guru: memastikan kualitas pengajar dalam literasi digital dan STEM.
  • Penegakan hukum: memberikan kepastian bagi investor dan dunia usaha.
  • Translasi pengetahuan: mengintegrasikan ilmu tradisional dengan pengetahuan modern.
  • Regulasi adaptif: tidak ketinggalan zaman dalam merespons perubahan teknologi.

Kebudayaan, Dekolonisasi, dan Demokratisasi Kognisi

Pendidikan tidak hanya tentang STEM dan teknologi, tetapi juga soal budaya dan cara berpikir. Dalam sebuah diskusi, Gita Wirjawan menekankan bahwa kolonialisme erat kaitannya dengan absennya demokratisasi kognisi.

1. Makna Kebudayaan di Era Dekolonisasi

Jika masyarakat tidak memiliki kognisi terbuka, maka mereka akan mudah dijajah kembali—baik secara ekonomi, budaya, maupun teknologi. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan pada pembebasan kognisi, agar masyarakat mampu menilai, memilih, dan melawan dominasi asing.

2. Perspektif Hilmar Farid

Sejarawan Hilmar Farid menambahkan bahwa kolonialisme di Asia Tenggara berjalan karena adanya feodalisme lokal. Akibatnya, masyarakat mengalami “penindasan ganda”—baik dari penjajah maupun dari elit lokal. Untuk membebaskan diri, masyarakat perlu menyadari warisan sejarah penindasan serta mengasah nalar kritis melalui pendidikan dan kesenian.


Membangun Commonality di Asia Tenggara

Salah satu tantangan besar Asia Tenggara adalah membangun commonality atau kesamaan identitas di tengah keberagaman budaya dan bahasa.

1. Kedamaian sebagai Commonality Utama

Gita Wirjawan menekankan bahwa Asia Tenggara memiliki warisan kedamaian ribuan tahun, dengan angka kematian akibat konflik jauh lebih rendah dibandingkan Eropa. Identitas bersama ini bisa diperkuat melalui pendidikan yang menekankan nilai toleransi dan kerja sama regional.

2. Perspektif Hilmar Farid: Laut sebagai Penghubung

Hilmar menambahkan bahwa laut seharusnya dipandang sebagai penghubung, bukan pemisah. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Asia Tenggara dulu sangat cair dalam berinteraksi lintas bahasa dan budaya. Sayangnya, kolonialisme membuat negara-negara di kawasan ini lebih fokus pada daratan dan ibu kota. Pendidikan sejarah dan budaya bisa menjadi kunci untuk membangkitkan kembali semangat ini.


Menuju Asia Tenggara Baru: Pendidikan sebagai Fondasi

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan adalah fondasi utama peradaban Asia Tenggara. Beberapa langkah penting yang harus ditempuh meliputi:

  1. Investasi besar-besaran pada guru → memberi gaji kompetitif, pelatihan filsafat, literasi digital, dan STEM.
  2. Produksi massal lulusan STEM → minimal 1 juta per tahun agar bonus demografi tidak terbuang sia-sia.
  3. Integrasi pengetahuan lokal dan modern → menjaga tradisi sambil membuka diri pada inovasi.
  4. Penguatan literasi dan numerasi → agar masyarakat lebih kebal terhadap manipulasi politik, ekonomi, dan budaya.
  5. Reformasi pendidikan ASEAN → mengadopsi sistem terbaik (misalnya Singapura) dengan penyesuaian konteks tiap negara.

Kesimpulan Umum

Pendidikan adalah kunci transformasi Asia Tenggara. Gita Wirjawan menekankan bahwa hanya dengan kombinasi STEM, filsafat, dan guru berkualitas, kawasan ini bisa naik kelas dalam rantai nilai global.

Indonesia, dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan, memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin transformasi ini. Bonus demografi hanya bisa menjadi berkah jika dibarengi dengan pendidikan yang tepat.

Jika strategi ini berhasil, Asia Tenggara tidak hanya menjadi “pasar besar” bagi dunia, tetapi juga pusat inovasi, budaya, dan peradaban baru yang diperhitungkan di panggung global.

Sumber Rujukan

Artikel ini disusun berdasarkan perbincangan dalam JalinTalks Special Live berjudul “Gita Wirjawan: Pendidikan, Budaya, dan Asia Tenggara” yang menghadirkan Hilmar Farid, sejarawan sekaligus Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dalam diskusi tersebut, Gita Wirjawan menyoroti pentingnya pendidikan sebagai pondasi utama peradaban, sekaligus menguraikan berbagai tantangan yang dihadapi Asia Tenggara dalam membangun identitas, komunikasi, dan kesinambungan peradaban.


Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

close

Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca