Memaknai hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj

Memaknai hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj

HermanAnis.com – Memaknai hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj. Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al Qur’an” mencoba memahami Peristiwa Isra’ Mi’raj yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang di kemukakan dalam Al-Quran.

Baca Juga: Mencermati Isi Ceramah

Beliau menerangkan bahwa ada dua hal berkaitan dengan hal ini.

Pertama,

Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama di bandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama di bandingkan dengan cahaya.

Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang di kehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. 

Kedua,

Segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran.

Apa yang di ketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila di nyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.

Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat di jadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya.

“Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru,” kata David Hume.

“Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar,” kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir.

“Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat di jadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B,” demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.

Kalau demikian, apa yang di namakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali “a summary of statistical averages” (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana di nyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan “kebetulan” dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam.

Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi di wujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, “Al-‘Aziz Al-‘Alim”, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Inilah yang di tegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu dengan firman-Nya:

“Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang di perintahkan (kepada mereka)” (QS 16:49-50).

Baca Juga: Ketika kebiasaan itu datang

Memaknai hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti di tegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra’ ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11).

Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara:

  • (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan,
  • (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum di mengerti oleh akal, dan
  • (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, dalam surat Isra’ sendiri, berulang kali di tegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus di ambilnya menyangkut keterbatasan tersebut.

Simaklah ayat-ayat berikut :

“Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya” (QS 16:8);
“Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS 16:74); dan
“Dan tidaklah kamu di beri pengetahuan kecuali sedikit”(QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.

Itulah sebabnya, di tegaskan oleh Allah dengan firman-Nya :

“Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan di mintai pertanggungjawaban” (QS 17:36).

Apa yang di tegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini di akui oleh para ilmuwan pada abad ke-20.

Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan:

“Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun.

Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang di sebut materi sekalipun. Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa

“pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97 % selebihnya di luar kemampuan manusia.”

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara “ilmiah” menjadi tidak ilmiah lagi.

Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja.

Padahal, peristiwa Isra’ dan Mi’raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat di coba, di amati dan di lakukan eksperimentasi.

Baca Juga: Nasib Bahasa Ibu di Rumah kita

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan:

“Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.

Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata:

Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.

Dan itu pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang di bawa Rasul dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj ini adalah kewajiban ; sebab merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.

Kita percaya kepada Isra’ dan Mi’raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu di ciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang di tempuh oleh Abu Bakar As Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya:

“Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya”.

Baca Juga: Tentang Dia yang Jauh

Demikian semoga bermanfaat.

Hikmah Hari Raya Idul Qurban – Menyembelih “Kebinatangan” Manusia

HermanAnis.com – Hikmah Hari Raya Idul Qurban – Menyembelih “Kebinatangan” Manusia. Seluruh umat Islam di Indonesia pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012, merayakan Hari Raya...
Herman Anis
2 min read

Ketika Kebiasaan Itu Datang

HermanAnis.com – Ketika kebiasaan itu datang, terus berulang sampai sekarang dan mungkin akan sampai kapanpun selama aku hidup. Cerita mulai Pukul 17.56 WITA menjelang...
Herman Anis
1 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close