Tentang Dia
Tentang dia yang jauh, namun selalu datang sekehendaknya. Ternyata rasa telah luntur dan kusam, hambar oleh siraman apapun, walaupun dari cawan yang murni, suci, dan menghidupkan.
Waktu hidup sudah semakin berkurang. Mungki tidak muda lagi, tidak gesit dan agresif lagi, namun sudah bisa zoom out.
Bagi sebagian kalian, usia ini sudah ada di fase kematangan dan mungkin keemasan. Namun bagiku, itu tak terlalu penting, age ain’t nothing but a number. Semua cuma penambahan hari, minggu, bulan, dan tahun. Tidak lebih dari itu, apalagi sesuatu yang bernama kedewasaan. Namun mungkin saja pemahaman ini suatu saat akan berubah.
Banyak rencana, semua rapi tergambar dalam pikiran. Dalam benakkku. Semuanya sudah tersusun dengan sangat rapi di alam sadar, apakah Dia yang jauh itu ada juga di sana? Terkadang ada, lalu hilang, ada lagi…begitulah…
Aku
Benar, dan aku sudah sangat paham ternyata tidak semua sesuai dengan yang di pikirkan. Di harapkan. Akankah semuanya menguatkan keyakinanku akan adanya hikmah di setiap kejadian yang terjadi? Ada hikmahnya pasti…
Saya sudah berhenti pada fase ini. titik.
Tapi, entahlah, bayangan akan seseorang pada masa lalu, yang ternyata masih enggan beranjak dari ruang dangkal, tidak dalam. Ketidakpastian yang sulit dilihat apa awalnya, menuntunkan berjalan pada sebuah lorong, yang kedua sisinya terhalang tembok gelap.
Saya belum berhasil mendefinisikannya sampai hari ini, apa yang terjadi pada malam itu? saat melewati depan Patung Gedung, di tengah malam, dingin membelah udara, berkawan dengan cahaya bening malam.
Lalu, pesannya masuk…
Beraninya kau lewat di depan rumahku dan berteriak keras memanggil namaku setiap saat…
Kalo dia membaca ini, Dia pasti tersenyum. Hanya Dia yang tau pesan itu.
Sudahlah angan, tiada guna lagi. Semua sudah berubah. Dulu rasa itu memang pernah ada. Alasannya mimpi yang tak berkesan, tapi mudah teringat.
Entahlah, mulainya kapan dan dari mana. Sebenarnya ini hanya iseng-iseng dorongan luar hati…
Tentang dia yang jauh, namun selalu datang sekehendaknya. Ternyata rasa telah luntur dan kusam, hambar oleh siraman apapun, walaupun dari cawan yang murni, suci, dan menghidupkan.
Saya membacanya, dan tersenyum. Sepanjang malam itu, langit hitam bercahaya menjadi semakin kelam.
Denting gitar pengamen pinggiran, laut menjelma menjadi gerakan pantomin bibir yang berusaha di lihat oleh orang buta.
Atas nama perasaan, saya seharusnya ia terluka. Tapi atas nama logika, perasaanku tak pernah mengenal luka.
Hanya ketidaksamaan waktu dan kesempatan, yang membuat harapan itu sirna.
Selamat malam, siang, pagi, dan selamat apa saja. Jikalau kau membacanya, tersenyumlah, bahagialah, karena aku bahagia mengingatnya, meskipun harummu menghilang, bahkan di saat aku belum berhasil mengendusnya.
Malam ini aku menemukannya…dalam keadaan yang berbeda.
Baca Juga: Penyesalan
Ditulis: beberapa tahun lalu….lupa.
Eksplorasi konten lain dari Herman Anis
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.