Sejarah Perkembangan Agama: Dinamisme, Animisme, Politeisme, sampai kepada Monoteisme

Sejarah Perkembangan Agama

HermanAnis.com- Perkembangan akal manusia ekuivalen dengan perkembangan agama, atau sembahan-sembahan manusia. Sejarah perkembangan agama (kepercayaan) berdasarkan Perkembangan Kognitif Manusia dari Dinamisme, Animisme, Politeisme, dan Monoteisme.

Catatan buat pembaca:
Pada setiap tulisan dalam www.hermananis.com, semua tulisan yang berawalan “di” sengaja dipisahkan dengan kata dasarnya satu spasi, hal ini sebagai penciri dari website ini.

Manusia itu ternyata berkembang di tuntun oleh perkembangan akalnya, dan ini kalau anda membaca buku antropologi, yang namanya agama ekuivalen dengan perkembangan akalnya manusia.

Dinamisme dalam Sejarah Perkembangan Agama

Agama paling kuno namanya Dinamisme. Dinamisme itu kepercayaaan manusia pada adanya daya di balik benda. Kenapa ada kepercayan ini karena, mereka menghadapi banyak hal, yang mereka tidak berdaya berhadapan dengan itu.

Berhadapan dengan laut tidak berdaya, berhadapan dengan pohon-pohon besar mereka merasa kecil, berhadapan dengan hujan, dengan angin mereka merasa lemah, ilmu pengetahuan belum berkembang.

Maka orang primitif menganggap bahwa di balik benda-benda di alam ini ada dayanya yang harus di hargai, jika tidak di hargai kita bisa di amuk. Maka lahirlah Dinamisme, kepercayaan pada Daya. Nanti begitu akalnya berkembang, misalnya liat orang sakit, atau liat orang mati.

Orang mati ini fisiknya masih utuh, tapi sekarang dia tidak bisa ngapa-ngapain, berarti di balik fisik ada yang mengendalikkan, di kenallah konsep Roh. Sekarang yang tadi di anggap daya begitu mereka kenal konsep roh, maka dari sinilah lahir Animisme. Dari Dinamisme lahir Animisme.

Anismisme dalam Sejarah Perkembangan Agama

Berarti Daya tadi itu sebenarnya adalah roh-roh, rohnya orang mati. Lahirlah kepercayaan Animisme, sesuai perkembangan akalnya. Berarti, nenek moyang kita dulu yang meninggal itu sebenarnya tidak hilang, roh nya masih ada, masih di sekitar kita, melingdungi kita, dan menjaga kita.

Kalau begitu harus kita hormati, harus di hargai. Akhirnya lahir penyembahan-penyembahan roh nenek moyang yang kita kenal sebagai animisme.

Nanti lama-kelamaan dari generasi ke genarasi, akalnya terus berkembang, mungkin roh-roh nenek moyang ini beberapa karena sudah sangat di hormati, di tuakan, lama-lama sangat power full yang kemudian di kenal dengan nama Dewa.

Muncullah kepercayaan pada Dewa-dewa, sumbernya adalah keyakinan roh nenek moyang, lahirlah Politeisme. Ada dewa laut, dewa matahari, dan semacamnya.

Politeisme

Politeisme sumbernya adalah keyakinan pada roh nenek moyang yang sangat power full. Terus akal manusia terus berkembang, masyarakat manusia semakin kompleks.

Mengenal sistem politik, sistem kerajayaan, sistem tata pemerintahan. Terus banyangannya dewa-dewa kayak manusia ada kerajaannya, ada tata pemerintahannya.

Kemudian ada dewa tertinggi yang jadi rajanya. Dimesir ada dewa Ra, di Yunani ada Zeus, di Wayang ada Batara Guru yang paling tinggi. Itu seiring perkembangan kognitif, perkembangan akalanya.

Di bayangkan dewa-dewa itu kayak manusia. Di antara struktur ini ada yang paling tinggi, ada yang topnya, di Yunani ada Zeus, di Mesir ada Ra.

Sehingga pada akhirnya akan muncul kepercayaan pada yang paling tinggi. Sosok ini merupakan yang paling power full, paling besar.

Dan, inilah yang kemudian menginisiasi munculnya satu-satunya tuhan yang kita kenal dengan Monoteisme.

Monoteisme dalam Sejarah Perkembangan Agama

Kepercayaan pada yang paling tinggi terus paling super power, power full, paling besar, lama-lama ini sudah tak ada tandingnya, dan itu nanti yang menginisiasi munculnya, satu-satunya tuhan yang paling power full, yang nanti kita kenal dengan Monoteisme.

Sehingga, cerita semancam ini ada di Antropologi, yang melihat bahwa perkembangan akal manusia ekuivalen dengan perkembangan agama, perkembangan sembahan-sembahan manusia.

Demikian sejarah perkembangan agama dari pandangan filsafat yang berdasar pada pandangan bahwa perkembangan akal manusia ekuivalen dengan perkembangan agama, kepercayaa, atau sembahan-sembahan manusia.

Reviu Kuliah Filsafat
Herman Anis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close
Index