Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran 

Pendekatan Saintifik

Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan Perbedaan Metode dan Model Pembelajaran, Pedekatan, Strategi, Teknik dan Taktik dalam Pembelajaran yang secara khusus akan membahas tentang Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran. Sebagaimana diketahui bahwa Perbedaan Metode dan Model Pembelajaran, Pedekatan, Strategi, Teknik dan Taktik dalam Pembelajaran dapat dibedakan berdasarkan ilustrasi berikut.

Perbedaan Metode dan Model Pembelajaran, Pedekatan, Strategi, Teknik dan Taktik dalam Pembelajaran
Gambar 1. Perbedaan Metode dan Model Pembelajaran, Pedekatan, Strategi, Teknik dan Taktik dalam Pembelajaran

Baca juga: Metode Demonstrasi dalam Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran adalah sudut pandang atau filosofi dasar yang menjadi landasan dalam proses pembelajaran. Ia merujuk pada teori atau konsep yang menjadi dasar bagi pengajaran secara keseluruhan. Di lihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan yaitu, Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru. Kurikulum 2013 jelas menerapkan pendekatan Ilmiah (Scientific Approach) sebagai cirinya.

Baca juga: Pembelajaran IPA Terintegrasi

Pengertian Pendekatan Saintifik

Pembelajaran merupakan proses ilmiah. Oleh karena itu maka Kurikulum 2013 dan kurikulum apa saja namanya khususnya pembelajaran sains selalu mengamanatkan esensi pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik di yakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik.

Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik.

Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas.

Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya.

Perbedaan Pendekatan, Strategi, Metode, dan Model Pembelajaran
Gambar 2. Pendekatan Induktif dan Pendekatan Deduktif

Untuk dapat di sebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat di observasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serial aktivitas pengoleksian data melalui observasi dan ekperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis.

Baca Juga: Contoh Penilaian Sikap – Sosial dan Spritual

5 Langkah dalam pendekatan saintifik

Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat di laksanakan menggunakan pendekatan saintifik dalam Pembelajaran. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.”

Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.”

Hasil akhirnya adalahpeningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik(soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Tiga Ranah dalam Pembelajaran
Gambar 3. Tiga Ranah dalam Pembelajaran

Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan saintifik (ilmiah). Scientific appoach dalam pembelajaran sebagaimana di maksud meliputi,

  1. mengamati,
  2. menanya,
  3. mencoba,
  4. mengolah,
  5. menyajikan,
  6. menyimpulkan, dan
  7. mencipta.

Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan saintifik dalam Pembelajaran ini tidak selalu tepat di aplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran di sajikan berikut ini.

Karakteristik 5M Pendekatan saintifik dalam Pembelajaran
Gambar 4. Karakteristik 5M Pendekatan saintifik dalam Pembelajaran

Baca Juga: Self-Directed Learning adalah?

1. Mengamati (Mengobservasi)

Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.

Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.

Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang di analisis dengan materi pembelajaran yang di gunakan oleh guru. Kegiatan mengamati dalam pembelajaran di lakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.

  1. Menentukan objek apa yang akan di observasi
  2. Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan di observasi
  3. Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu di observasi, baik primer maupun sekunder
  4. Menetapkan di mana tempat objek yang akan di observasi
  5. Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan di lakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
  6. Memutuskan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya

a Jenis-jenis Observasi (pengamatan)

Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.

1) Observasi biasa (common observation)

Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang di amati.

2) Observasi terkendali (controlled observation).

Seperti halnya observasi biasa, padaobservasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang di amati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang di amati.

Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendalipelaku atau objek yang diamati di tempatkan pada ruang atau situasi yang di khususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang di observasi.

3) Observasi partisipatif (participant observation).

Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang di amati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi.

Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang di amati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau di alek setempat, termasuk melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.

Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan di maksud yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti di jelaskan berikut ini.

4) Observasi berstruktur

Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin di observasi oleh peserta didik telah di rencanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.

5) Observasi tidak berstruktur

Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak di tentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus di observasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang di observasi.

Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti:

  • (1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan;
  • (2) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual;
  • (3) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan
  • (4) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.

Secara lebih luas, alat atau instrumen yang di gunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya.

Catatan anekdot berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang di tampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikalberupa alat mekanik yang dapat di pakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang di tampilkan oleh subjek atau objek yang di observasi.

b) Prinsip-prinsip Observasi

Prinsip-prinsip yang harus di perhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran di sajikan berikut ini.

  • Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang di observasi untuk kepentingan pembelajaran.
  • Banyak atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang di observasi. Makin banyak dan hiterogensubjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu di lakukan.
    Sebelum obsevasi di laksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
  • Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak di catat, di rekam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.

2. Menanya Pendekatan Saintifik (Ilmiah)

Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik.

Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan di maksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal.

Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: “Mengapa Planet Jupiter yang memiliki ukuran lebih besar memiliki kala rotasi lebih cepat di bandingkan dengan Planet Bumi yang ukurannnya lebih kecil?”

Adapun contoh bentuk pernyataan, misalnya: “Sepertinya ukuran suatu planet tidak mempengaruhi kala rotasinya, namun saya tidak begitu yakin dengan hal tersebut”.

Kedua contoh pertanyaan proses menanya tersebut merupakan ungkapan ketidakyakinan peserta didik terhadap suatu fenomena faktual yang merupakan bentuk metakognisi baru bagi dirinya sehingga mendorong rasa ingin tahunya lebih jauh. Pertanyaan tersebut tidaklah mungkin muncul jika mereka telah memiliki metakognisi yang ajeg terhadap pengetahuan faktual yang di sajikan dalam pembelajaran. Dengan demikian, kunci untuk dapat memancing rasa ingin tahu pada proses menanya ini di perlukan suatu fenomena faktual yang memiliki tingkatan metakognitif yang lebih tinggi dari metakognitif peserta didik yang mengikuti pembelajaran.

Sebagai contoh, kedua pertanyaan yang di perkirakan akan muncul tersebut berasal dari fenomena faktual yang guru sajikan dalam proses pembelajaran berupa fakta Planet Jupiter yang memiliki ukuran lebih besar dari pada Bumi memiliki kala rotasi 9,8 jam, sedangkan Bumi yang memiliki ukuran lebih kecil memiliki kala rotasi 24 jam.

Materi Tata surya ini merupakan materi pelajaran IPA kelas VII semester 2, pada tingkatan ini, peserta didik di asumsikan telah memiliki pengetahuan metakognitif ukuran planet Jupiter lebih besar dari pada Bumi serta jika suatu benda berukuran besar, maka waktu yang di butuhkan untuk melakukan rotasi akan lebih lama.

Pengetahuan tersebut telah terbangun pada kognitif peserta didik saat mereka mempelajari IPA dan Planet-planet Tata Surya di tingkatan Sekolah Dasar. Sehingga, saat di sajikan fenomena faktual ini, tingkatan metakognisi mereka belum ajeg memahaminya.

Dengan demikian, saat akan menyusun aktivitas proses menanya dalam pembelajaran, perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu pada tingkatan metakognisi peserta didik saat akan mempelajari materi pembelajaran yang akan disajikan pada pertemuan tertentu.

Fungsi Bertanya dalam pembelajaran

Proses bertanya memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah:

  1. Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
  2. Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
  3. Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
  4. Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang di berikan.
  5. Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
  6. Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan.
  7. Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
  8. Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
  9. Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain

3. Mencoba Pendekatan Saintifik (Ilmiah)

Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang di hadapinya sehari-hari. Aplikasi metode eksperimen atau mencoba di maksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah:

  1. menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum;
  2. mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus di sediakan;
  3. mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya;
  4. melakukan dan mengamati percobaan;
  5. mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;
  6. menarik simpulan atas hasil percobaan; dan
  7. membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.

Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka:

  1. Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan di laksanakan murid
  2. Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang di pergunakan
  3. Perlu memperhitungkan tempat dan waktu
  4. Pendidik menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid
  5. Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan di jadikan eksperimen
  6. Membagi kertas kerja kepada murid
  7. Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan
  8. Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila di anggap perlu di diskusikan secara klasikal.

Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau mencoba di lakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau mencoba di maksud di jelaskan berikut ini.

1) Persiapan

  1. Menetapkan tujuan eksperimen
  2. Mempersiapkan alat atau bahan
  3. Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai dengan jumlah peserta didik serta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen atau mencoba secara serentak atau di bagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau bergiliran
  4. Mempertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul.
  5. Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus di perhatikan dan tahapan-tahapan yang harus di lakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang di larang atau membahayakan.

2) Pelaksanaan

  1. Selama proses eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang di hadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
  2. Selama proses eksperimen atau mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.

3) Tindak lanjut

  1. Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
  2. Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
  3. Pendidik memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
  4. Guru dan peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang di temukan selama eksperimen.
  5. Pendidik dan peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang di gunakan.

4. Menalar

Istilah “menalar” pada pendekatan saintifik dalam pembelajaran menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat di observasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.

Selain itu, penalaran di maksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran.

Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifik dalam pembelajaran banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.

Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu di kenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.

Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu di lakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian di kenal dengan teori asosiasi.

Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang di anut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.

1) Jenis-jenis hukum dalam proses pembelajaran

a) Hukum efek (The Law of Effect)

Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat di pengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.

Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah.

Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik di bandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya.

Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.

b) Hukum latihan (The Law of Exercise)

Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 di nyatakan di cabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku.

Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering di gunakan atau berulang-ulang.

Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak di latih atau di lakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat di bentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat di berikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.

c) Hukum kesiapan (The Law of Readiness)

Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk di pelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar di lakukan, maka merekaakan merasa puas.

Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa di lakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi. Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian di perluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan.

Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan di ulangi. Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.

Kaidah dasar yang digunakan dalam teori S-R adalah:

  1. Kesiapan (readiness).
    Kesiapan di identifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik. Selain itu kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik.
    Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya pembelajaran pun perlu di siapkan secara baik dan saksama.
  2. Latihan (exercise).
    Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang di lakukan secara berulang oleh peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif dan ekstensif.
  3. Pengaruh (effect).
    Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan kualitas ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya.
    Manfaat hasil belajar yang di peroleh oleh peserta didik di rasakan langsung oleh mereka dalam dalam dunia kehidupannya.

Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik. Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan apirasi peserta didik.

Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran dapat di jelaskan dengan pelaziman sebagaimana di kembangkan oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (social learning) yang di kembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya.

Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.

  1. Pertama, pemodelan (modelling), di mana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
  2. Kedua, fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
  3. Ketiga, belajar vicarious, di mana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.
  4. Keempat, pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.

Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata d iobservasinya dari kinerja guru dan temannya di kelas. Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran?

Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta didik dapat di lakukan dengan cara berikut ini.

  1. Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
  2. Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tapi jelas dengan di sertai contoh-contoh, baik di lakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
  3. Bahan pembelajaran di susun secara berjenjang atau hierarkis, di mulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi).
  4. Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat di ukur dan di amati
  5. Seriap kesalahan harus segera di koreksi atau di perbaiki
  6. Perlu di lakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang di inginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
  7. Evaluasi atau penilaian di dasari atas perilaku yang nyata atau otentik.
  8. Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.

2) Cara Menalar

Seperti telah di jelaskan di awal, terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalardengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum.

Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.

Contoh:

  • Singa binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
  • Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
  • Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
  • Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan

Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus.

Pola penalaran deduktif di kenal dengan pola silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian di hubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.

Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat di lakukan melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Simpulan secara langsung di tarik dari satu premis,sedangkan simpulan tidak langsung di tarik dari dua premis.

Contoh:

  • Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
  • Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
  • Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi

3) Analogi dalam Pembelajaran

Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis.

Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan. Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi deduktif.

Kedua analogi itu di jelaskan berikut ini. Analogi induktif di susun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu di tarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua.

Analogi induktif merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang dapat di terima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang di perbandingkan.

Contoh:

Andi merupakan pebelajar yang tekun. Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian, tahun ini juga, Andi akan mengikuti kompetisi pada Olimpiade Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi. Analogi deklaratif merupakan suatu“metode menalar” untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum di kenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah di kenal.

Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala menjadi di kenal atau dapat di terima apabila di hubungkan dengan hal-hal yang sudah di ketahui secara nyata dan di percayai.

Contoh lain, kegiatan kepesertadidikan akan berjalan baik jika terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana, pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik di perlukan sinergitas antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

4) Hubungan Antarfenomena

Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik di tuntut mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.

Hubungan sebab-akibat di ambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain. Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satuatau beberapa fakta tersebut.

Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif, yang di sebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.

a) Hubungan sebab–akibat.

Pada penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab di kemukakan terlebih dahulu, kemudian di tarik simpulan yang berupa akibat.

Contoh:

Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor pengungkit yang bisa membuat kita mencapai puncak kesuksesan. Pada penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat di kemukakan terlebih dahulu, selanjutnya di tarik simpulan yang merupakan penyebabnya.

Contoh lain, akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian antarpeserta didik, yang di sebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara massal.

b) Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2.

Pada penalaran hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu penyebab dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.

Contoh:

Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut.

Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.

5. Mengomunikasikan

Sebagai bagian proses akhir dari pendekatan saintifik dalam pembelajaran, mengomunikasikan atau membentuk jejaring pengetahuan yang telah di peroleh merupakan kunci akhir dari kebermaknaan proses pembelajaran secara keseluruhan. Dalam prosesnya, kegiatan ini dapat di lakukan dengan menuliskan atau menceritakan apa yang di temukan selama proses mencari informasi, mengasosiasi dan menemukan pola.

Hasil tersebut di sampaikan di kelas dan di nilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Beberapa hal yang dapat di laksanakan dalam kegiatan mengomunikasikan adalah sebagai berikut.

  1. Setiap kelompok peserta didik bekerjasama untuk mendeskripsikan karakter dan kegitan yang telah di sediakan oleh guru atau dalam buku,
  2. Semua peserta didik memahami bagaimana mendeskripsikan hal-hal yang ada di sekitar mereka,
  3. Peserta didik/kelompk peserta didik membacakan hasil kerja di depan kelas secara bergiliran,
  4. Setiap kelompok peserta didik mendengarkan dengan baik, dan bisa memberikan masukan tentang karakter atau kegiatan tersebut,
  5. Guru mengarahkan dan memastikan jalannya proses kegiatan agar efektif dan semua peserta didik dapat terlibat aktif dalam proses kegiatan ini,
  6. Setelah diskusi dalam proses mengomunikasikan ini selesai, guru memberikan penjelasan tentang materi esensial yang telah di pelajari sebagai bagian proses penguatan dan penanaman konsep.

Aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik (ilmiah) adalah menyediakan sumber belajar, mendorong siswa berinteraksi dengan sumber belajar, mengajukan pertanyaan agar peserta didik memikirkan hasil interaksinya, memantau persepsi dan proses berpikir peserta didik, mendorong peserta didik berdialog dan berbagi hasil pemikirannya, mengonfirmasi pemahaman yang di peroleh dan mendorong peserta didik merefleksikan pengalaman belajarnya.

Pendekatan pembelajaran melibatkan berbagai aspek pembelajaran, seperti bagaimana materi di ajarkan, interaksi antara guru dan siswa, dan evaluasi pembelajaran. Selain pendekatan saintifik dalam pembelajaran, berikut adalah beberapa contoh pendekatan pembelajaran yang sering digunakan:

  1. Pendekatan Konstruktivisme: Pendekatan ini berfokus pada proses belajar siswa dan menganggap siswa sebagai konstruktor pengetahuannya sendiri. Guru bertindak sebagai fasilitator dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pemahaman mereka sendiri tentang materi yang diajarkan melalui diskusi, kolaborasi, dan refleksi.
  2. Pendekatan Kolaboratif: Pendekatan ini mendorong siswa untuk bekerja sama dan saling membantu dalam pembelajaran. Guru mengatur kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja dalam kelompok, berdiskusi, dan bertukar ide untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  3. Pendekatan Berbasis Proses atau Pendekatan Keterampilan Proses Sains: Pendekatan ini berfokus pada proses belajar siswa daripada hanya mencapai hasil belajar. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksperimen, mengeksplorasi, dan mengamati, dan memberikan umpan balik tentang proses mereka.
  4. Pendekatan Kontekstual: Pendekatan ini menciptakan keterkaitan antara materi yang diajarkan dengan kehidupan nyata siswa. Guru menggunakan situasi nyata untuk mengilustrasikan konsep yang diajarkan agar siswa dapat menghubungkan dengan dunia sekitar mereka.
  5. Student Center (Pendekatan Scientific atau pendekatan saintifik),
  6. Pendekatan STEM Education
  7. Teacher Center

Setiap pendekatan pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, dan di pilih berdasarkan tujuan pembelajaran dan karakteristik siswa. Seorang guru harus memilih pendekatan yang paling sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa agar siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

Di dalamnya mewadahi, menguatkan, menginspirasi, dan melatari metode dalam suatu pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

Demikian, semoga bermanfaat.

Sumber:


Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

close

Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca