HermanAnis.com — Level inkuiri menurut Wenning merujuk pada kerangka pembelajaran sains yang menyusun proses inkuiri ilmiah ke dalam tahapan bertingkat, mulai dari kegiatan yang sangat terstruktur hingga penyelidikan yang dilakukan secara mandiri oleh peserta didik. Model ini disusun oleh Wenning sebagai solusi atas keterbatasan metode pembelajaran tradisional yang terlalu berpusat pada guru dan kurang memberi ruang bagi eksplorasi siswa.
Tulisan ini diadaptasi dari artikel ilmiah berjudul “The Levels of Inquiry Model of Science Teaching“ yang dipublikasikan dalam Journal of Physics Teacher Education Online, Volume 6, Nomor 2, halaman 9–16, 2011. Artikel tersebut menguraikan secara rinci bagaimana level inkuiri menurut Wenning dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir ilmiah siswa melalui pembelajaran yang sistematis dan progresif.
Pendekatan ini memandu guru untuk mengatur alur pembelajaran yang semakin kompleks, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep, tetapi juga terampil dalam merumuskan pertanyaan, merancang eksperimen, menganalisis data, dan menarik kesimpulan secara ilmiah.
Model-Model Pembelajaran Sains
Model pembelajaran memberikan dasar yang jelas untuk membangun praktik pembelajaran yang terstruktur. Model ini membantu pendidik memahami pentingnya dan hubungan antara berbagai aktivitas yang terkait menjadi kerangka model interaksi antara guru dan siswa.
Sebagai contoh, pada model pembelajaran yang berpusat pada guru, guru lebih menekankan penyampaian informasi kepada siswa. Sebaliknya, pada model pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru mendorong siswa membangun pengetahuan dari pengalaman mereka sendiri.
Tujuan utama setiap model pembelajaran adalah membantu siswa belajar. Setiap model seharusnya berlandaskan pada teori belajar yang dapat dipertanggungjawabkan. Joyce & Weil (1986) telah mendeskripsikan lebih dari 20 model pembelajaran, namun hanya sebagian kecil yang paling sesuai untuk pembelajaran sains. Di antaranya adalah model konstruktivis, sosiokultural, inkuiri, dan model langsung/interaktif. Model-model ini lahir dari gagasan para ahli pendidikan seperti Dewey, Brunner, Piaget, Vygotsky, dan lainnya.
Berdasarkan karya para ahli tersebut serta penelitian pendidikan sains, banyak guru dan pendidik sains saat ini sepakat bahwa ada tema-tema penting yang seharusnya menjadi bagian dari semua model pembelajaran sains. Hassard dan Dias (2005) mengidentifikasi lima tema utama. Menurut mereka, pembelajaran sains seharusnya bersifat aktif, berbasis pengalaman, konstruktivis, mempertimbangkan pengetahuan awal siswa, serta melibatkan kerja sama dan kolaborasi.
Urutan pembelajaran yang dibangun dengan model level Inkuiri dalam Pembelajaran Sains mengintegrasikan semua tema tersebut, bahkan menambahkan unsur-unsur lain yang memperkaya pengalaman belajar siswa.
Revisi Model Level Inkuiri
Karya Wenning sebelumnya (2005a, 2010) telah memperkenalkan Levels of Inquiry Model (Model level Inkuiri) untuk pembelajaran sains dan kemudian menjelaskan urutan pembelajaran yang terkait. Penulis menegaskan bahwa dengan membahas berbagai tingkatan inkuiri secara sistematis – pembelajaran penemuan, demonstrasi interaktif, pelajaran inkuiri, praktikum inkuiri, dan inkuiri hipotetis (secara kolektif disebut sebagai spektrum inkuiri) – guru dapat membantu siswa mengembangkan rentang keterampilan intelektual dan proses sains yang lebih luas. Saat ini, spektrum inkuiri telah mencakup aplikasi dunia nyata dengan dua variannya, yaitu penyelesaian soal-soal akhir bab dalam buku teks dan pemecahan masalah autentik. Ketika spektrum inkuiri umum diterapkan dalam pelajaran di kelas sehari-hari, akan terbentuk sebuah urutan pembelajaran.
Untuk memahami secara lebih mendalam kontribusi spektrum inkuiri bagi guru dan siswa, penting untuk menelaah tujuan pedagogis utama dari setiap level inkuiri sains. Tujuan-tujuan tersebut diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Fokus utama dalam enam level inkuiri.
Level Inkuiri | Tujuan Pedagogis Utama |
---|---|
Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan) | Siswa mengembangkan konsep berdasarkan pengalaman langsung (berfokus pada keterlibatan aktif untuk membangun pengetahuan). |
Interactive Demonstration (Demonstrasi Interaktif) | Siswa terlibat dalam penjelasan dan pembuatan prediksi yang memungkinkan guru memunculkan, mengidentifikasi, mengonfrontasi, dan menyelesaikan miskonsepsi (memperhatikan pengetahuan awal siswa). |
Inquiry Lesson (Pelajaran Inkuiri) | Siswa mengidentifikasi prinsip dan/atau hubungan ilmiah (kerja sama digunakan untuk membangun pengetahuan yang lebih terperinci). |
Inquiry Laboratory (Praktikum Inkuiri) | Siswa menetapkan hukum empiris berdasarkan pengukuran variabel (kerja kolaboratif digunakan untuk membangun pengetahuan yang lebih terperinci). |
Real-world Applications (Aplikasi Dunia Nyata) | Siswa memecahkan masalah yang berkaitan dengan situasi autentik secara individu maupun dalam kelompok kerja sama dan kolaboratif menggunakan pendekatan berbasis masalah dan berbasis proyek. |
Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotetis) | Siswa menghasilkan penjelasan untuk fenomena yang diamati (mengalami bentuk sains yang lebih realistis). |
Model level inkuiri dalam Pembelajaran Sains berlandaskan sebagian pada gagasan John Dewey pada awal abad ke-20 mengenai penerapan pembelajaran berbasis pengalaman. Gagasan Dewey tentang penggunaan pembelajaran berbasis pengalaman dan praktik inkuiri bertujuan meningkatkan literasi sains umum di kalangan siswa sekolah. Ia berpendapat bahwa teori pembelajaran seharusnya memiliki keterkaitan yang lebih erat dengan hasil yang diinginkan (1904), dan cara paling efektif untuk membuat siswa lebih sadar serta terinformasi secara ilmiah adalah melalui proses pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu dengan membiarkan siswa mempelajari sains dengan meniru pekerjaan para ilmuwan.
Enam tahun kemudian, Dewey (1910, hlm. 25) menegaskan, “Pengajaran sains sering mengalami hambatan karena sains terlalu sering disajikan sebagai sekadar pengetahuan siap pakai, sekumpulan fakta dan hukum, daripada sebagai metode inkuiri yang efektif terhadap suatu pokok bahasan.” Dewey membayangkan pembelajaran yang berlangsung melalui serangkaian siklus belajar sederhana, di mana siswa menerima rangsangan, melakukan observasi, menarik kesimpulan dari observasi tersebut, dan membuat penilaian terhadap validitasnya. Siklus ini kemudian berulang ketika siswa menerima rangsangan baru. Melalui rangkaian siklus tersebut, siswa membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman yang diperoleh.

Walaupun gagasan Dewey tersebut visioner, penerapannya tidak meluas. Dari sudut pandang kontemporer, kelemahan utama model pembelajaran berbasis pengalaman Dewey terletak pada sifatnya yang “horizontal”. Meskipun model tersebut memanfaatkan bentuk dasar siklus belajar, Dewey tidak secara eksplisit menekankan pengembangan keterampilan intelektual dan proses sains yang semakin kompleks, yang pada era teknologi maju saat ini menjadi tujuan penting pendidikan sains. Model level Inkuiri dalam Pembelajaran Sains memperhitungkan faktor-faktor tersebut dan memanfaatkan bentuk siklus belajar yang lebih canggih, yang lebih merepresentasikan praktik kerja ilmuwan profesional. Siklus belajar lima tahap terbaru serta hubungannya dengan spektrum inkuiri ditunjukkan pada Gambar 2.

Hubungan Spektrum Inkuiri dengan Siklus Belajar
Sejak Robert Karplus memperkenalkan siklus belajarnya pada tahun 1962, berbagai model siklus belajar telah dikemukakan. Jumlah variasi siklus belajar berkembang secara signifikan sejak saat itu, masing-masing dengan penekanan dan sudut pandang tersendiri dalam pembelajaran. Tabel 2 memuat sejumlah siklus belajar yang lebih baru diterapkan dalam pembelajaran sains.
Siklus belajar merupakan elemen penting dalam pembelajaran sains karena membantu guru menyusun urutan kegiatan belajar. Siklus belajar dapat menyediakan struktur untuk perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Dengan menggunakan siklus belajar sebagai panduan, guru dapat lebih mudah merancang pembelajaran yang meniru cara kerja ilmuwan. Dengan mengintegrasikan siklus belajar ke dalam setiap komponen spektrum inkuiri, siswa dapat memperoleh pemahaman yang jauh lebih komprehensif tentang seluruh keterampilan intelektual dan proses sains yang melekat pada setiap level inkuiri.
Sesungguhnya, Model level Inkuiri dalam Pembelajaran Sains merupakan serangkaian siklus belajar yang beroperasi dalam konteks siklus yang lebih besar yang mencakup berbagai level inkuiri. Siklus level inkuiri yang bersifat menyeluruh akan dimulai setiap kali materi pelajaran baru diperkenalkan.
Berbagai tingkatan inkuiri—discovery learning (pembelajaran penemuan), interactive demonstrations (demonstrasi interaktif), inquiry lessons (pelajaran inkuiri), inquiry labs (praktikum inkuiri), dan hypothetical inquiry (inkuiri hipotetis)—dapat dijelaskan lebih lengkap melalui penggunaan siklus belajar. Siklus belajar lima tahap yang baru, yang diperkenalkan pada artikel ini, memberikan struktur tambahan pada setiap tingkatan dalam spektrum inkuiri. Dengan bergerak melalui berbagai tahap siklus belajar dan tingkatan spektrum inkuiri, siswa dapat memahami sains secara lebih menyeluruh, baik sebagai proses maupun produk, serta memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat kegiatan ilmiah. Siklus belajar lima tahap ini menjadi sintaks dasar untuk setiap tingkatan dalam Model level inkuiri dalam Pembelajaran Sains.
Tabel 2. Siklus belajar yang diterapkan dalam pembelajaran sains; dimodifikasi dari Gallagher (2006).
Model Siklus Belajar | Tahapan |
---|---|
3-Stage Karplus | Exploration (Eksplorasi), Invention (Penemuan), Discovery (Penemuan) |
4-Stage Art of Teaching Science | Invitation (Undangan), Exploration (Eksplorasi), Explanation (Penjelasan), Taking Action (Tindakan) |
4-Stage Dykstra | Elicitation (Elicitasi), Comparison (Perbandingan), Resolution (Penyelesaian), Application (Aplikasi) |
5-Stage Bybee | Engage (Memantik), Explore (Mengeksplorasi), Explain (Menjelaskan), Elaborate (Mengelaborasi), Evaluate (Mengevaluasi) |
7-Stage Eisenkraft | Elicit (Elicitasi), Engage (Memantik), Explore (Mengeksplorasi), Explain (Menjelaskan), Elaborate (Mengelaborasi), Evaluate (Mengevaluasi), Extend (Memperluas) |
5-Stage Levels of Inquiry | Observation (Observasi), Manipulation (Manipulasi), Generalization (Generalisasi), Verification (Verifikasi), Application (Aplikasi) |
5 Siklus Belajar dalam Level of Inkuri
Siklus belajar lima tahap Model level inkuiri lahir dari pengalaman mengajar selama kurang lebih 15 tahun di Program Pendidikan Guru Fisika, Illinois State University. Meskipun tidak berbeda secara substansial dari siklus belajar lain yang tercantum pada Tabel 2, siklus belajar lima tahap ini memberikan penekanan yang lebih konsisten dan kuat pada tindakan siswa, bukan tindakan guru, dan—menurut penulis—lebih sederhana sekaligus lebih dekat meniru keseluruhan proses sains fisika dasar.
Lima tahap dalam siklus belajar Model level inkuiri adalah sebagai berikut:
- Observation (Observasi) – Siswa mengamati suatu fenomena yang membangkitkan minat dan respons mereka. Siswa mendeskripsikan secara rinci apa yang mereka lihat. Mereka membicarakan analogi dan contoh lain dari fenomena tersebut. Guru bersama siswa menetapkan pertanyaan utama yang layak untuk diselidiki.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa mengusulkan dan mendiskusikan ide-ide yang dapat diselidiki serta merancang pendekatan yang dapat digunakan untuk mempelajari fenomena tersebut. Mereka merencanakan pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif, kemudian melaksanakan rencana tersebut.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa membangun prinsip atau hukum baru untuk menjelaskan fenomena sesuai kebutuhan. Siswa memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai fenomena tersebut.
- Verification (Verifikasi) – Siswa membuat prediksi dan melakukan pengujian menggunakan hukum umum yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
- Application (Aplikasi) – Siswa mengemukakan kesimpulan yang mereka peroleh secara mandiri dan disepakati bersama. Kesimpulan tersebut kemudian diterapkan pada situasi lain yang relevan.
Sepanjang proses lima tahap ini, siswa secara berkelanjutan mengomunikasikan ide, pendekatan, proses, data, dan hasil—termasuk kesulitan dan hambatan yang dihadapi. Mereka berbagi keberhasilan dan mencari solusi atas kegagalan. Mereka bekerja sebagai anggota komunitas belajar dalam kelompok kecil maupun besar untuk mengembangkan, memverifikasi, dan menerapkan temuan yang dihasilkan pada setiap level inkuiri.
Sintaks Umum Berbagai Level Inkuiri
Meskipun siklus belajar lima tahap menjadi sintaks dasar pembelajaran dalam spektrum inkuiri, sintaks tersebut bersifat luas dan dapat dimodifikasi saat diterapkan. Beberapa contoh berikut menggambarkan—meskipun tidak dengan presisi sempurna—cara penerapan siklus belajar dalam Model level inkuiri. Dalam pengertian paling ketat dari istilah sintaks, tidak ada langkah spesifik yang harus selalu diikuti. Dalam pengertian yang lebih pragmatis, sintaks umum akan mengalir dari, tetapi tidak sepenuhnya terikat pada, siklus belajar lima tahap.
Perlu diingat bahwa mengajar lebih merupakan seni daripada sains. Tidak ada seperangkat aturan yang dapat diacu pendidik untuk berkata, “Lakukan ini; hasilnya akan selalu berhasil.” Proses pendidikan bersifat kompleks, dan cara mengajar dapat beragam sebanyak jumlah pengajarnya. Meskipun demikian, Model level inkuiri dalam Pembelajaran Sains menyarankan sejumlah praktik dan pendekatan umum yang diuraikan di sini sebagai sintaks.
Ketika siswa bergerak dari praktikum inkuiri terbimbing menuju inkuiri terbatas, lalu ke inkuiri bebas, dan akhirnya ke inkuiri hipotetis, kendali pembelajaran secara bertahap berpindah dari guru kepada siswa. Saat siswa—mungkin secara individu—memasuki bentuk inkuiri hipotetis, pekerjaan mereka menjadi sangat individualistis dan bahkan bersifat pribadi. Akibatnya, langkah sintaksis tidak disajikan untuk praktikum lanjutan maupun inkuiri hipotetis karena pada tahap ini siswa yang merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium sendiri serta mengembangkan penjelasan hipotetis mereka. Proses ini secara alamiah bersifat idiosinkratik dan oleh karena itu tidak dapat diberikan secara baku.
Cara memperkenalkan materi pelajaran kepada siswa akan sangat bergantung pada sifat materi tersebut. Pada beberapa materi, aspek tertentu dari siklus belajar lima tahap akan lebih ditekankan sementara aspek lain mungkin dikurangi atau bahkan dihilangkan. Misalnya, membantu siswa menemukan konsep yang berkaitan dengan gerak (aktivitas yang sangat konkret) kemungkinan akan berbeda secara signifikan dibandingkan pembelajaran konsep yang berkaitan dengan relativitas (bentuk pembelajaran yang jauh lebih abstrak). Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk memberikan kaidah umum yang bermanfaat.
Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan)
Pembelajaran penemuan berfokus pada pengembangan pemahaman konseptual berdasarkan pengalaman langsung. Deskripsi fenomena (jawaban atas pertanyaan “apa” dan “bagaimana”) digali dari siswa. Penjelasan fenomena (jawaban atas pertanyaan “mengapa”) tidak diminta pada tahap ini. Namun, apabila penjelasan muncul secara spontan, guru perlu menundanya untuk investigasi di masa mendatang. Langkah-langkah umum berikut dapat digunakan untuk mengembangkan konsep pada tingkatan ini dalam spektrum inkuiri:
- Guru memperkenalkan satu atau lebih contoh fisika yang menarik dari fenomena yang akan dipelajari. Siswa tertarik dan terdorong rasa ingin tahunya oleh penampilan fenomena tersebut.
- Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan (bukan menjelaskan) apa yang mereka lihat, serta mengidentifikasi kesamaan yang mereka amati di antara berbagai contoh yang diberikan.
- Guru mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan menggambarkan situasi fisika analog lain di mana fenomena tersebut juga dapat diamati.
- Guru mendorong siswa, yang kini bekerja dalam kelompok kecil, untuk berinteraksi dengan berbagai contoh fenomena, mengubah variabel-variabel, dan mengamati pengaruh perubahan tersebut terhadap fenomena yang diamati.
- Guru meminta siswa untuk mendiskusikan ide-ide, mengidentifikasi hubungan, menarik kesimpulan, dan mengembangkan wawasan tentang apa yang terjadi—yakni faktor-faktor yang menyebabkan fenomena tersebut.
- Apabila relevan, guru memberikan istilah atau nama untuk konsep yang telah dikembangkan oleh siswa.
Interactive Demonstration (Demonstrasi Interaktif)
Sokoloff & Thornton (2004) memberikan pendekatan 8 langkah untuk melaksanakan interactive lecture demonstrations. Tujuh langkah pertama umumnya konsisten dengan komponen demonstrasi interaktif dalam spektrum inkuiri maupun siklus belajar lima tahap pada model ini. Dengan memparafrasekan tujuh langkah pertama mereka dan mengganti langkah kedelapan, diperoleh sintaks umum untuk demonstrasi interaktif dalam spektrum inkuiri sebagai berikut:
- Guru memperkenalkan suatu demonstrasi dengan menjelaskan proses mekanis yang akan dilakukan untuk menampilkan fenomena yang diinginkan. Langkah ini dilakukan sepenuhnya tanpa penjelasan atau pernyataan mengenai hasil yang akan diperoleh.
- Guru meminta siswa untuk memikirkan apa yang akan terjadi dan mengapa hal tersebut akan terjadi ketika demonstrasi dilakukan, serta menuliskan prediksi dan penjelasan mereka secara individual.
- Siswa terlibat dalam diskusi kelompok kecil dengan satu atau dua rekan terdekat untuk berbagi prediksi dan penjelasan, dengan tujuan memungkinkan mereka melakukan koreksi diri berdasarkan paparan terhadap prediksi dan penjelasan alternatif.
- Guru memfasilitasi proses konsensus dengan meminta siswa menyampaikan prediksi dan penjelasan bersama yang disepakati kelompok.
- Setiap siswa mencatat prediksi dan penjelasan akhir kelompoknya pada lembar catatan masing-masing.
- Guru melaksanakan demonstrasi dengan cara yang jelas sehingga hasilnya mudah diamati. Demonstrasi diulang bila diperlukan hingga hasilnya dapat dipahami dengan baik.
- Guru meminta siswa membandingkan hasil demonstrasi dengan kedua set prediksi yang telah dibuat. Guru mengidentifikasi adanya miskonsepsi alternatif yang mungkin muncul.
- Jika teridentifikasi miskonsepsi yang autentik (bukan sekadar kesulitan belajar siswa), guru mengonfrontasi dan menyelesaikannya, lalu memperkuat pemahaman baru menggunakan pendekatan Elicit–Confront–Identify–Resolve–Reinforce (ECIRR) untuk menangani miskonsepsi secara lebih efektif (Wenning, 2008).
Inquiry Lesson (Pembelajaran Inkuiri)
Pelajaran inkuiri menggunakan protokol think-aloud di mana guru mendorong siswa untuk bertindak seperti ilmuwan dalam pengaturan eksperimen yang lebih formal. Pada tahap ini, upaya diarahkan untuk mendefinisikan suatu sistem, serta mengendalikan dan memanipulasi satu variabel bebas untuk melihat pengaruhnya terhadap satu variabel terikat. Prosedur umum berikut sebaiknya digunakan:
- Guru mengidentifikasi fenomena yang akan dipelajari, termasuk tujuan investigasi. Guru secara jelas menyampaikan pertanyaan panduan untuk investigasi yang akan dilakukan.
- Guru mendorong siswa untuk mengidentifikasi sistem yang akan dipelajari, termasuk semua variabel yang relevan. Siswa diminta membedakan antara variabel yang relevan dan variabel yang tidak relevan.
- Guru mendorong siswa untuk mengidentifikasi variabel bebas yang mungkin berpengaruh terhadap variabel terikat.
- Guru meminta siswa merancang dan menjelaskan serangkaian eksperimen terkontrol untuk menentukan secara kualitatif pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Guru menggunakan protokol think-aloud untuk menjelaskan apa yang dilakukan secara eksperimental dan alasan pendekatan tersebut.
- Siswa, di bawah bimbingan guru, melaksanakan serangkaian eksperimen terkontrol untuk menentukan secara kualitatif apakah variabel bebas mempengaruhi variabel terikat dalam kondisi yang terkendali.
- Siswa, dengan bantuan guru, merumuskan prinsip sederhana yang menjelaskan semua hubungan yang diamati antara variabel masukan dan variabel keluaran.
- Guru, bersama siswa, mengidentifikasi secara jelas variabel bebas yang perlu dipelajari lebih lanjut terhadap variabel terikat dalam praktikum inkuiri lanjutan untuk menemukan hubungan yang lebih presisi antarvariabel.
Inquiry Labs (Praktikum Inkuiri), Real-world Applications (Aplikasi Dunia Nyata), dan Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotetis)
Seiring siswa semakin memahami proses sains melalui pengulangan berulang pada spektrum inkuiri dengan menerapkan siklus belajar lima tahap, mereka menjadi semakin mandiri dalam berpikir dan bertindak, meskipun tingkat kompleksitas intelektual dari tugas-tugas yang mereka hadapi meningkat pada setiap tingkatan. Oleh karena itu, peran guru untuk menyediakan panduan langkah demi langkah menjadi semakin berkurang.
Meskipun pada awal suatu mata pelajaran guru mungkin perlu memberikan panduan tersebut, kebutuhan ini berkurang secara signifikan—bahkan dapat menjadi sesuatu yang dihindari oleh siswa—seiring berjalannya tahun ajaran. Akibatnya, kendali pembelajaran berpindah dari guru kepada siswa, dan kebutuhan akan sintaks umum, bahkan kelayakannya, menjadi dipertanyakan.
Meskipun demikian, guru tetap harus mengawasi pekerjaan siswa dan siap memberikan tanggapan saat siswa menemui kebuntuan. Guru sebaiknya mengingatkan siswa untuk mengikuti, secara umum, siklus belajar lima tahap yang terkait dengan model level inkuiri, yang mencerminkan karakteristik kerja ilmuwan. Secara umum, guru sebaiknya menghindari memberikan jawaban langsung atas pertanyaan siswa; sebaliknya, guru perlu membimbing siswa untuk menemukan jawabannya sendiri melalui pertanyaan terarah dan memberikan petunjuk seperlunya.
Implementasi Level Inkuiri Menurut Wenning
Guru dapat memulai dari level terendah (demonstrasi interaktif) lalu secara bertahap menuju level tertinggi (inkuiri murni). Kolaborasi guru, dukungan sekolah, dan pemahaman orang tua menjadi faktor pendukung utama keberhasilan penerapan model ini.
Contoh Urutan Pembelajaran Topik Optika
Contoh berikut menunjukkan bagaimana tingkatan atau level inkuiri dan siklus belajar dapat diintegrasikan untuk menghasilkan urutan pembelajaran tentang lensa. Ide umum untuk pelajaran ini diadaptasi dari Modeling Method of Instruction dan mengasumsikan bahwa siswa telah memahami pembentukan bayangan dan bahwa cahaya merambat dalam garis lurus. Tujuan utama urutan pembelajaran ini adalah agar siswa membangun pemahaman tentang cara kerja teleskop refraktor.
Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan) – menggunakan lensa sebagai kaca pembesar
- Observation (Observasi) – Siswa diberikan dua lensa cembung: satu tebal dibandingkan tepinya (fokus pendek) dan satu tipis dibandingkan tepinya (fokus panjang). Atas arahan guru, siswa mendeskripsikan perbedaan bentuk dan hal-hal lain yang dapat mereka tentukan tentang kedua lensa tersebut—apa yang dilakukan lensa, bagaimana kinerjanya, dan sebagainya. Siswa menuliskan temuan mereka pada papan tulis kecil, termasuk catatan seperti kemampuan menghasilkan bayangan tegak atau terbalik.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa diminta menentukan apakah terdapat hubungan antara “ketebalan” lensa dan ukuran bayangan (perbesaran) yang mereka lihat ketika lensa dipegang pada jarak yang sama dari teks tercetak. Alternatifnya, mereka dapat diminta mencari hubungan antara jarak benda dari lensa dan kemampuan lensa menghasilkan bayangan tegak atau terbalik.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa merumuskan satu atau lebih aturan untuk lensa cembung, misalnya, “Lensa tebal menghasilkan bayangan lebih besar dibandingkan lensa tipis ketika dipegang pada jarak yang sama dari koran,” atau “Setiap lensa memiliki jarak tertentu di mana bayangan bergeser dari tegak menjadi terbalik, jarak ini tampaknya berkaitan dengan ketebalan lensa.”
- Verification (Verifikasi) – Karena kesimpulan ilmiah merupakan ranah komunitas ilmiah dan bukan individu atau kelompok kecil, temuan ini dibagikan kembali kepada seluruh kelas untuk diperiksa dan diverifikasi.
- Application (Aplikasi) – Setelah komunitas belajar memverifikasi temuan individu dan kelompok, siswa menerapkan apa yang telah mereka pelajari pada situasi baru. Misalnya, mereka mengerjakan lembar kerja atau menjawab serangkaian pertanyaan “what if” dari guru yang mengaitkan pengetahuan tersebut pada kasus tertentu.
Interactive Demonstration (Demonstrasi Interaktif) – menggunakan lensa untuk memproyeksikan
- Observation (Observasi) – Siswa mengamati ketika guru menggunakan lensa cembung besar untuk memproyeksikan bayangan pemandangan luar yang terang ke layar di dalam kelas yang digelapkan. Dengan bantuan pertanyaan pengarah dari guru, siswa mencatat hal-hal seperti jarak fokus serta fakta bahwa bayangan yang dihasilkan terbalik dan berwarna.
- Manipulation (Manipulasi) – Mengacu pada pengaturan ini, guru mengusulkan beberapa eksperimen untuk menentukan faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan memengaruhi pembentukan bayangan. Misalnya, guru menyarankan untuk mengganti lensa dengan ketebalan berbeda (menggunakan lensa lain) untuk melihat bagaimana ketebalan memengaruhi jarak fokus. Siswa membuat prediksi, lalu demonstrasi dilakukan. Mereka juga dapat menyarankan mengubah diameter efektif lensa dengan menutupi pinggirnya, untuk melihat pengaruh diameter terhadap pembentukan bayangan. Lagi-lagi, siswa membuat prediksi sebelum demonstrasi dilakukan. Guru juga dapat bertanya apa yang akan terjadi jika sebuah tangan—diletakkan jauh dari lensa dan sangat dekat dengan lensa—digunakan untuk menimbulkan bayangan pada lensa, untuk melihat pengaruhnya terhadap bayangan yang dihasilkan. Siswa membuat prediksi, lalu demonstrasi dilakukan untuk memeriksa hasilnya.
- Generalization (Generalisasi) – Berdasarkan pengalaman mereka dengan demonstrasi, siswa menyimpulkan temuan dan mendokumentasikannya secara tertulis.
- Verification (Verifikasi) – Siswa menerima dua kartu indeks dari guru—satu dengan lubang jarum di tengah dan satu tanpa lubang. Mereka diminta memegang kartu berlubang di dekat jendela dan menempatkan kartu kedua di bayangan kartu pertama. Mereka kemudian mempelajari bayangan baru tersebut dan membandingkannya dengan hasil proyeksi menggunakan lensa.
- Application (Aplikasi) – Guru meminta siswa menentukan apakah lubang jarum berfungsi seperti lensa cembung dan sebaliknya. Jika ya, sejauh mana kesamaannya? Bagaimana perbedaan antara lubang jarum dan lensa cembung?
Inquiry Lesson (Pembelajaran Inkuiri) – memahami proyeksi bayangan
- Observation (Observasi) – Siswa mengamati ketika guru menjelaskan cara menggunakan proyektor lubang jarum untuk menghasilkan bayangan lampu pada layar. (Kotak kecil dengan lubang jarum di satu ujung dan potongan berlapis kertas lilin di ujung lainnya dapat digunakan. Kotak dipotong menjadi dua bagian sehingga dapat digeser untuk mengubah jarak antara lubang jarum dan layar.)
- Manipulation (Manipulasi) – Pada tahap ini, siswa diminta mendeskripsikan faktor-faktor relevan dan dapat dikendalikan yang mungkin memengaruhi bentuk, ukuran, orientasi, dan tampilan keseluruhan bayangan yang diproyeksikan. Hanya satu kemungkinan yang benar-benar diuji pada tahap ini tanpa pengukuran presisi, sementara kemungkinan lainnya disisakan untuk studi pada kegiatan laboratorium berikutnya.
- Generalization (Generalisasi) – Dengan meniru proses inkuiri ilmiah, siswa diminta untuk menggeneralisasi temuan dari tahap sebelumnya menggunakan terminologi yang tepat.
- Verification (Verifikasi) – Siswa kemudian diberikan proyektor lubang jarum dan lampu masing-masing, lalu diminta memverifikasi secara individu atau dalam kelompok kecil satu temuan dari seluruh kelas.
- Application (Aplikasi) – Siswa diberitahu bahwa mereka akan menggunakan variasi pendekatan ini untuk melakukan studi kualitatif terhadap komponen lain dari sistem kamera lubang jarum.
Guided Inquiry Lab (Praktikum Inkuiri Terbimbing) – mencari hubungan kualitatif antarvariabel menggunakan eksperimen terkontrol
- Observation (Observasi) – Guru, sambil meninjau kembali pelajaran inkuiri sebelumnya, meminta siswa melakukan eksperimen terkontrol dengan proyektor lubang jarum dan sumber cahaya sehingga hanya terdapat satu variabel bebas (independent variable) dan satu variabel terikat (dependent variable). Guru meminta siswa untuk mendefinisikan variabel-variabel yang relevan seperti dₒ (jarak objek dari lubang jarum), dᵢ (jarak bayangan dari lubang jarum), hₒ (tinggi filamen lampu), dan hᵢ (tinggi bayangan filamen) sebelum memulai tahap berikutnya.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa, dengan melakukan eksperimen kualitatif terkontrol (tanpa alat ukur), mengubah satu variabel pada satu waktu sambil menjaga dua variabel tetap konstan dan membiarkan variabel keempat bervariasi untuk melihat konsekuensi perubahan pada variabel pertama.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa, setelah membuat serangkaian pengamatan dengan mengubah variabel bebas dalam rentang yang luas, menuliskan temuan mereka dalam bentuk uraian kata (tanpa persamaan matematis) pada papan tulis kecil atau media lain yang dapat dibagikan dengan seluruh kelas.
- Verification (Verifikasi) – Melalui komunikasi hasil, siswa menemukan bahwa kelompok lain dalam kelas menarik kesimpulan yang sama berdasarkan bukti. Jika terdapat perbedaan hasil, data tambahan dikumpulkan hingga jelas bahwa alam bersifat konsisten dan perbedaan yang muncul kemungkinan disebabkan oleh kesalahan manusia. Proses ini membantu siswa memahami hakikat sains (Wenning, 2006).
- Application (Aplikasi) – Siswa mengerjakan lembar kerja yang berisi berbagai contoh pelacakan sinar (ray tracing) untuk menjelaskan mengapa bayangan menjadi lebih kabur saat menggunakan lubang jarum besar, mengapa bayangan terbalik terhadap objek, mengapa bayangan menjadi lebih besar jika layar dijauhkan dari lubang jarum, dan sebaliknya, mengapa bayangan menjadi lebih kecil jika jarak antara lampu dan lubang jarum diperkecil, serta sebaliknya. Mereka juga mempelajari bagaimana perubahan orientasi atau ukuran lampu memengaruhi bayangan, mengapa beberapa lubang jarum menghasilkan beberapa bayangan, dan sebagainya.
Bounded Inquiry Lab (Praktikum Inkuiri Terbatas) – menemukan hubungan di antara variabel yang dapat diukur menggunakan eksperimen terkontrol
- Observation (Observasi) – Dalam diskusi lanjutan, siswa menemukan bahwa siswa lain mengamati hubungan dasar yang sama (misalnya, ketika dᵢ meningkat, hᵢ juga meningkat dengan kondisi parameter sistem yang tetap).
- Manipulation (Manipulasi) – Guru membagi masalah besar menjadi komponen yang lebih kecil (jigsaw), misalnya dua kelompok melakukan studi terkontrol mengenai hubungan antara dᵢ dan hᵢ, sementara dua kelompok lain mempelajari hubungan antara dₒ dan hᵢ, dan seterusnya.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa mengumpulkan data yang relevan dan menghasilkan hubungan matematis menggunakan analisis grafik.
- Verification (Verifikasi) – Siswa membagikan temuan matematis mereka (misalnya, dᵢ ∝ hᵢ, dᵢ ∝ 1/hₒ, dₒ ∝ hᵢ, dan dₒ ∝ 1/hₒ) kepada kelompok lain, serta mengonfirmasi temuan tersebut bila sesuai.
- Application (Aplikasi) – Siswa menggabungkan temuan kelompok kecil untuk menghasilkan hubungan umum antara variabel yang dapat diukur (misalnya, hᵢ/hₒ = dᵢ/dₒ). Siswa didorong untuk menemukan definisi perbesaran (magnification, M). Mereka seharusnya dapat dengan mudah menghasilkan hubungan berikut: M = hᵢ/hₒ.
Real-world Applications (Aplikasi Dunia Nyata) – mengembangkan definisi kerja perbesaran
- Observation (Observasi) – Siswa diberikan sebuah bangku optik (optical bench) dan satu set tiga lensa yang terdiri dari satu lensa dengan panjang fokus besar, satu dengan panjang fokus menengah, dan satu dengan panjang fokus kecil. Mereka kemudian diminta untuk “menciptakan” sebuah teleskop yang menghasilkan perbesaran maksimum dari suatu objek yang jauh.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa – yang sudah mengetahui bentuk teleskop – mengganti berbagai lensa untuk digunakan sebagai lensa objektif dan lensa okuler. Mereka menyimpulkan bahwa perbesaran maksimum dicapai ketika lensa dengan panjang fokus terbesar digunakan sebagai lensa objektif dan lensa dengan panjang fokus terkecil digunakan sebagai lensa okuler.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa merumuskan sebuah aturan bahwa perbesaran (M) berbanding lurus dengan panjang fokus lensa objektif (F), dan berbanding terbalik dengan panjang fokus lensa okuler (f).
- Verification (Verifikasi) – Siswa menukar berbagai kombinasi lensa untuk lensa objektif dan okuler, dan memverifikasi apakah aturan yang telah mereka ajukan, M ∝ F/f, kemungkinan benar.
- Application (Aplikasi) – Siswa menentukan panjang fokus semua lensa dengan memproyeksikan bayangan objek yang sangat jauh ke selembar kertas dan mengukur jarak antara lensa dan kertas. Dari data ini, mereka menghitung perbesaran berbagai kombinasi lensa.
Applied Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotetis Terapan) – menjelaskan bagaimana teleskop refraktor bekerja
- Observation (Observasi) – Siswa mengamati ketika guru menggunakan dua lensa secara kombinasi untuk menghasilkan bayangan seperti pada teleskop refraktor. Perhatian siswa diarahkan pada fakta bahwa bayangan yang dihasilkan terbalik meskipun cahaya dari objek melewati dua lensa.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa diberikan satu lensa cembung dengan panjang fokus besar dan satu lensa cembung dengan panjang fokus kecil, lalu diminta untuk “menciptakan” teleskop mereka sendiri.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa mencoba menjelaskan peran kedua lensa, yaitu untuk memproyeksikan sebuah bayangan nyata (menggunakan lensa objektif dengan panjang fokus besar) dan untuk mengamati bayangan tersebut dengan menggunakan kaca pembesar genggam dengan panjang fokus kecil (lensa okuler).
- Verification (Verifikasi) – Siswa memverifikasi bahwa sebuah bayangan nyata memang dihasilkan di antara lensa objektif dan lensa okuler dengan menyisipkan kartu indeks pada bidang fokus lensa objektif.
- Application (Aplikasi) – Siswa menggunakan pengetahuan mereka tentang bagaimana lensa refraktor bekerja untuk memberikan penjelasan mengenai cara kerja teleskop refraktor, misalnya: “Sebuah lensa objektif menghasilkan bayangan nyata pada sebuah bidang, dan lensa okuler digunakan di luar bidang fokus tersebut untuk melihat dan memperbesar bayangan yang dihasilkan.”
Pure Hypothetical Inquiry (Inkuiri Hipotetis Murni) – menjelaskan sifat hubungan perbesaran
- Observation (Observasi) – Siswa melihat melalui sebuah teleskop yang dipasang pada bangku optik yang hanya terdiri dari sebuah lensa objektif dan sebuah lensa okuler. Teleskop difokuskan pada objek yang sangat jauh. Guru memasukkan selembar kertas ke bidang fokus lensa objektif, di mana siswa dapat melihat dengan jelas bahwa sebuah bayangan nyata terbentuk.
- Manipulation (Manipulasi) – Siswa diberi tahu panjang fokus kedua lensa dan diminta menentukan hubungan antara panjang fokus tersebut dan jarak pemisah antara kedua lensa ketika objek yang sangat jauh difokuskan dengan jelas. Mereka menyimpulkan bahwa jarak pemisah tersebut adalah F + f, yaitu jumlah panjang fokus lensa objektif dan lensa okuler.
- Generalization (Generalisasi) – Siswa menggambar diagram sinar untuk objek jauh, lensa objektif, lensa okuler, dan mata. Di antara lensa objektif dan lensa okuler, mereka menandai posisi bidang bayangan lensa objektif dan menggambar bayangan nyata terbalik yang dihasilkan oleh lensa objektif, misalnya sebuah panah. Dari konstruksi ini dan dengan membandingkan ukuran sudut sebenarnya dari objek dengan ukuran sudut tampak objek seperti yang dilihat melalui lensa okuler, siswa menentukan bahwa perbesaran sistem hanyalah perbandingan panjang fokus lensa objektif dan lensa okuler, F/f.
- Verification (Verifikasi) – Siswa dapat mengonfirmasi hubungan di atas dengan membandingkannya dengan hasil dari kegiatan proyeksi lubang jarum, di mana M = hᵢ/hₒ = dᵢ/dₒ.
- Application (Aplikasi) – Siswa membandingkan hasil perbesaran dari rumus M = F/f dengan rasio ukuran sudut sebenarnya dan ukuran sudut tampak dari objek.
Kesimpulan: Implementasi model level inkuiri menurut Wenning
Menyusun urutan pembelajaran yang efektif dapat menjadi tugas yang menantang dan memakan waktu, sebagaimana pengalaman penulis tunjukkan. Mungkin hal ini karena banyak dari kita sebagai guru tidak memiliki banyak pengalaman secara eksplisit mengembangkan pelajaran yang terperinci, progresif, dan semakin canggih untuk siswa kita. Jika urutan pembelajaran yang berlandaskan Model level Inkuiri hendak dihasilkan, mungkin usaha tersebut sebaiknya menjadi pekerjaan kelompok seperti yang digunakan dalam proses lesson study (Stigler & Hiebert, 1999). Pendekatan ini telah digunakan dengan cukup berhasil dalam program Pendidikan Guru Fisika di Illinois State University (Wenning & Khan, 2011).
Jelas bahwa waktu yang diperlukan untuk menyiapkan dan mengajarkan sebuah urutan pembelajaran menggunakan Model level inkuiri cukup besar. Hal ini merupakan salah satu dari banyak alasan mengapa beberapa guru sains gagal memasukkan praktik inkuiri dalam pengajaran mereka (Costenson & Lawson, 1986). Alasan lain mencakup: waktu dan energi, proses yang terlalu lambat, bacaan yang terlalu sulit, risiko yang terlalu tinggi, tracking, kematangan siswa, kebiasaan mengajar, teks berurutan, ketidaknyamanan, biaya yang terlalu tinggi, dan kurangnya bahan ajar yang sesuai untuk pembelajaran hands-on. Masalah-masalah ini, baik yang dirasakan maupun yang nyata, serta cara menanganinya telah dibahas sebelumnya oleh Wenning (2005b). Guru dalam pelatihan profesional sebaiknya menyadari bahwa ketika siswa bergerak berulang kali melalui berbagai level inkuiri dan siklus belajar terkait, keseluruhan proses pengembangan kegiatan pembelajaran semacam ini menjadi hal yang wajar bagi guru.
Terdapat pula sumber resistensi terhadap inkuiri yang berasal dari rekan guru, administrator sekolah, orang tua, dan bahkan dari siswa itu sendiri. Penulis telah membahas bagaimana guru dapat secara efektif menangani jenis-jenis resistensi ini melalui proses perubahan iklim (climate change) (Wenning, 2005c).
Memang, tidak ada guru yang mengedepankan keluasan cakupan sekaligus kedalaman instruksi akan menggunakan urutan pembelajaran secara eksklusif; hal ini dapat dimaklumi. Namun, penggunaan pendekatan yang lebih didaktik (mis. instruksi langsung) sampai hampir mengesampingkan pengajaran berorientasi inkuiri adalah mengkhawatirkan, karena pengajaran yang hanya “memberitahu” diketahui kurang efektif untuk mengembangkan pemahaman jangka panjang. Pengajaran yang berfokus pada persamaan sering kali meninggalkan siswa dengan sangat sedikit pemahaman konseptual yang dapat diterapkan pada pengalaman dunia nyata.
Level inkuiri, spektrum inkuiri, urutan pembelajaran, dan klasifikasi keterampilan terkait akan terus disempurnakan seiring semakin banyaknya urutan pembelajaran yang dikembangkan. Begitulah perkembangan sebuah model pendidikan!!!.
Daftar Referensi
- Costenson, K. & Lawson, A.E. (1986). Why isn’t inquiry used in more classrooms? The American Biology Teacher, 48(3), 150-158.
- Dewey, J. (1904). The relation of theory to practice, in The Third Yearbook, Part I, National Society for the Scientific Study of Education.
- Dewey, J. (1910). Science as subject-matter and a method, in Experience and Education, taken from John Dewey on Education: Selected Writings, Reginald D. Archambault (ed.), New York: Random House.
- Gallagher, J.J. (2006). Teaching Science for Understanding. New York: Prentice-Hall.
- Hassard, J. & Dias, M. (2005). The Art of Teaching Science: Inquiry and Innovation in Middle School and High School. New York: Routledge.
- Heller, P., Keith, R., and Anderson, S. (1992). Teaching problem solving through cooperative grouping. Part 1: Group versus Individual problem solving. American Journal of Physics, 60(7): 627-636.
- Joyce, B. & Weil, M. (1986). Models of Teaching. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
- Physics Education Research and Development Group, University of Minnesota. Retrieved 1/23/2012. http://groups.physics.umn.edu/physed/Research/CRP/crintro.html
- Sokoloff, D.R. & Thornton, R.K. (2004). Interactive Lecture Demonstrations: Active Learning in Introductory Physics. Wiley.
- Stigler, J.W. & Hiebert, J. (1999). The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teachers for Improving Education in the Classroom. New York: The Free Press.
- Wenning, C.J. (2005a). Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processes. Journal of Physics Teacher Education Online, 2(3), 3-11.
- Wenning, C.J. (2005b). Implementing inquiry-based instruction in the science classroom: A new model for solving the improvement-of-practice problem. Journal of Physics Teacher Education Online, 2(4), 9-15.
- Wenning, C.J. (2005c). Minimizing resistance to inquiry-oriented instruction: The importance of climate setting. Journal of Physics Teacher Education Online, 3(2), 10-15.
- Wenning, C.J. (2008). Dealing more effectively with alternative conceptions in science. Journal of Physics Teacher Education Online, 5(1), 11-19.
- Wenning, C.J. (2010). Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to teach science. Journal of Physics Teacher Education Online, 5(4), 11-19.
- Wenning, C.J., Holbrook, T.W., & Stankevitz, J. (2006b). Engaging students in conducting Socratic dialogues: Suggestions for science teachers. Journal of Physics Teacher Education Online, 4(1), 10-13.
- Wenning, C.J. & Khan, M.A. (2011). Sample learning sequences based on the Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal of Physics Teacher Education Online, 6(2), 17-30
Eksplorasi konten lain dari Herman Anis
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.