Absolutisme dan Realtivisme

HermanAnis.com – Absolutisme dan Realtivisme. Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa “kucing ada di rumah”, dan kita katakan bahwa “kucing ada di rumah”, maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme.

A. Absolutisme

Absolutisme dan Realtivisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas? Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini.

Apa yang di maksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam tulisan ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang di gunakan manusia.

Contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental.

Dan pernyatan “Kucing ada di rumah” merujuk pada alam bahasa. Seseorang di sebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras.

Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang di fikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang di nyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa.

Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkinmencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu “fikiran” atau “keyakinan” dalam alam mental di sebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal.

B. Relativisme

Telah di bahas sebelumnya bahwa absolutis yakin bahwa bahasa mungkin di gunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut. Sebaliknya seorang di sebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis.

Artinya, seorang di sebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;

  1. Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.
  2. Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.

Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya.

Sementarab poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun. Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur.

Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atau jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin di komunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).

B. Pandangan Filusuf tentang Absolutisme dan Realtivisme

Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan di uraikan di bawah ini.

1. Pandangan Rene Descartes tentang Absolutisme dan Realtivisme

Absolutisme dan Realtivisme. Pandangan Rene Descartes, yang sering di sebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam

“Le Discours de la Methode”

Artinya semua yang berhubungan dengan indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa di tampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada.

Pandangan Rene Descartes tentang Absolutisme dan Realtivisme

Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian.

Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun.

Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya.

Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu.

Saya perhatikan bahwa kebenaran ini:

Saya berfikir, jadi saya ada (cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya.”

  1. Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
  2. Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.
  3. Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.

Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa? Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri.

Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas

  1. Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
  2. Segala jenis penalaran apapun nafi
  3. Segala jenis pemikiran apa pun tidak absah,

Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun. Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi.

Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa di generalisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga.

Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada).

Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;

Premis mayor:

Sesuatu yang berfikir pasti ada

Premis minor:

Aku befikir

Konklusi:

Aku ada.

Ini dapa di lihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya

“La discours de la methode”;

Artinya “saya berfikir, jadi saya ada” tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada.”

Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami “kesalahan logika” Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.

2. Pandangan Emmanuel Kant tentang Absolutisme dan Realtivisme

Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku.

Pandangan Emmanuel Kant tentang Absolutisme dan Realtivisme

Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin di capai oleh akal manusia sama sekali.

Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan. Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin di capai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin di capai oleh akal kita sama sekali?

Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin di bahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin di bahasakan sama sekali.

Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah di nyatakan bahkan oleh Kant sendiri.

3. Pandangan Ludwig Wittgenstein tentang Absolutisme dan Realtivisme

Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang di nyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus-nya; “Sesuatu yang memang dapat di katakan haruslah di ungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat di katakan sebaiknya di diamkan saja.”

Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat di ungkapkan secara jelas – yang di sebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya di diamkan saja, yaitu ;

  1. “Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia.”
  2. “Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang di jalani.”
  3. “Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia.”

Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan. Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa.

Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat di relasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa? Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.

Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu?

Kalau di katakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas?

Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya.

Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.

C. Bahan untuk direnungkan tentang Absolutisme dan Realtivisme

Proposisi, “Sesuatu yang memang dapat di katakan haruslah di ungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat di katakan sebaiknya di diamkan saja,”

Ini sendiri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa di pertanyakan lagi apa arti jelas dan arti “jelas” bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata “gaya” jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain.

Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang di makan seseorang masih di sebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti “jelas” itu relatif, tentu ia tidak di jamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, di diamkan saja.

Di diamkan seperti rumput yang bergoyang. Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada ungkapan mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya.

Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis.

Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri.

Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.

Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; perintah dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar akan sirna.

Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna.
Sudahlah….

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close
Index