Pendidikan menurut John Dewey: Pragmatisme, Refleksi, dan Learning by Doing

Prinsip learning by doing John Dewey dalam pendidikan

Pendidikan menurut John Dewey menekankan pembelajaran yang aktif, kontekstual, dan bermakna. Melalui pragmatisme, Dewey menegaskan pentingnya menguji pengetahuan berdasarkan manfaat praktisnya, sementara refleksi membantu peserta didik memahami pengalaman dan menghubungkannya dengan teori. Prinsip learning by doing memastikan siswa belajar melalui keterlibatan langsung, menjadikan pendidikan lebih efektif, kreatif, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pandangan ini tetap menjadi rujukan penting bagi pendidik modern yang ingin menciptakan proses belajar yang inovatif dan berpusat pada pengalaman.

Artikel terkait: Kumpulan Teori-teori Belajar

Tujuan Pendidikan Menurut John Dewey

Bagi John Dewey, pendidikan lebih dari sekadar menghafal fakta atau menuntaskan kurikulum. Pendidikan adalah proses membentuk individu yang mampu berpikir kritis, mengambil keputusan, dan beradaptasi dengan perubahan.

Baca selengkapnya: Berpikir Kritis: Pengertian, Langkah, Indikator, dan Perspektif Islam

Tujuannya tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi juga membentuk karakter, keterampilan sosial, dan kemampuan praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut Dewey,

  • Tujuan dari pendidikan adalah menciptakan individu yang mampu belajar secara mandiri, berpikir kritis, dan terus mengevaluasi serta mengembangkan dirinya di berbagai situasi baru, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sosial.
  • Tujuan pendidikan bukan hanya “hasil akhir”, tapi proses berkelanjutan.
  • Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membekali seseorang dengan kemampuan, minat, dan sikap untuk terus belajar sepanjang hayat.
  • Pendidikan harus menanamkan kecintaan belajar, bukan sekadar memberi informasi untuk diujikan.

Dengan demikian, pendidikan menurut Dewey bertujuan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga yang aktif, kreatif, dan bertanggung jawab.

Setelah memahami tujuan pendidikan menurut John Dewey, penting untuk meninjau prinsip-prinsip yang menjadi landasan praktik pendidikan itu. Prinsip-prinsip ini menjelaskan bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan agar tujuan pembentukan individu yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab dapat tercapai.

Dengan memahami prinsip-prinsip ini, pendidik dapat merancang pengalaman belajar yang tidak hanya teoritis, tetapi juga kontekstual, reflektif, dan bermakna bagi peserta didik.

Prinsip-Prinsip Pendidikan menurut John Dewey

John Dewey merumuskan prinsip-prinsip pendidikan yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik, relevansi pengalaman belajar, dan hubungan erat antara teori dan praktik.

Menurut Dewey, pendidikan sebaiknya dirancang agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, serta keterampilan sosial, sekaligus memperoleh pengalaman yang bermakna dan kontekstual.

Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman bagi pendidik dalam menciptakan proses belajar yang dinamis, reflektif, dan mampu membekali peserta didik menghadapi tantangan kehidupan nyata.

Mengapa Harus Sekolah?

Menurut John Dewey, sekolah lebih dari sekadar tempat belajar; ia adalah community life—lingkungan sosial di mana peserta didik belajar berinteraksi dan berkontribusi. Di sekolah, agencies are concentrated, yakni semua unsur pendidikan terkumpul untuk membentuk pengalaman belajar yang menyeluruh. Melalui pendidikan, generasi muda dapat memanfaatkan inherited resources of the race, atau warisan budaya dan intelektual, sekaligus mengembangkan potensi diri demi kebaikan sosial (use his own powers for social ends).

Menurut Dewey,

“The school is simply that form of community life in which all those agencies are concentrated that will be most effective in bringing the child to share in the inherited resources of the race, and to use his own powers for social ends.”

Community Life – Sekolah sebagai bentuk kehidupan masyarakat (community life)

Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tapi sebagai bagian dari kehidupan sosial. Sekolah tidak terpisah dari kehidupan nyata, melainkan cerminan kehidupan sosial yang terstruktur untuk mendidik.

Agencies are concentrated – Unsur-unsur pendidikan dikumpulkan

Dalam sekolah, semua alat atau sarana pendidikan seperti guru, kurikulum, lingkungan belajar, dan aktivitas sosial dikonsentrasikan secara sistematis untuk membantu pertumbuhan anak.

Inherited resources of the race – Warisan budaya dan intelektual

Sekolah membantu anak mengakses dan memahami warisan kolektif umat manusia: ilmu pengetahuan, seni, bahasa, moral, teknologi, dll. Sehingga bisa:

  • Menghargai pencapaian masa lalu,
  • Menggunakannya untuk membangun masa depan.

Use his own powers for social ends – Mengembangkan potensi demi kebaikan sosial

Tujuan akhir pendidikan menurut Dewey adalah agar anak tidak hanya berkembang sebagai individu, tapi juga sebagai anggota masyarakat yang aktif dan bertanggung jawab. Dengan demikian, belajar di sekolah menjadi pengalaman yang bermakna, kontekstual, dan relevan bagi kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Setelah memahami pandangan Dewey tentang tujuan dan fungsi sekolah, penting untuk meninjau bagaimana gagasan-gagasannya diuji melalui eksperimen dan penelitian pendidikan. Melalui berbagai studi dan percobaan di sekolah-sekolah percobaan (laboratory schools), Dewey mengeksplorasi penerapan prinsip-prinsip pendidikan seperti learning by doing, refleksi, dan keterkaitan antara pengalaman dan pengetahuan, sehingga teori-teorinya dapat diuji secara nyata dalam konteks pembelajaran sehari-hari.

Eksperimen dan Penelitian John Dewey (1896)

John Dewey tidak hanya merumuskan teori pendidikan secara konseptual, tetapi juga menekannya melalui penelitian. Melalui sekolah percobaan (laboratory schools) yang ia dirikan, Dewey mengamati secara langsung bagaimana prinsip-prinsip seperti learning by doing, refleksi, dan keterkaitan antara pengalaman dan pengetahuan dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar.

Penelitian ini memungkinkan Dewey mengevaluasi efektivitas pendekatan pendidikan yang ia kembangkan, sekaligus memberikan bukti nyata bahwa belajar yang aktif, kontekstual, dan bermakna dapat meningkatkan keterampilan, kreativitas, dan pemikiran kritis peserta didik.

Tabel 1. Eksperimen John Dewey (1986)

UsiaAktifitas
4-5 tahunMemasak, menjahit, pertukangan
6 tahunMenanam pohon, gandum dan kapas, lalu menjual hasilnya ke pasar.
7 tahunBelajar tentang pra-Sejarah di gua-gua yang dibuat sendiri
8 tahunBelajar navigasi seperti Marcopolo, Magallanes, Robinson Crusoe, dll
9 tahunSejarah lokal dan geografi
10 tahunSejarah era kolonial
11-12 tahunPengalaman anatomik, ekonomi-politik, fotografi
13 tahunMembangun satu klub debat

“Anak pergi ke sekolah untuk membuat sesuatu: memasak, menjahit, mengolah kayu, dan membuat perkakas melalui tindakan konstruksi sederhana; dan dalam konteks ini, dan sebagai akibat dari tindakan tersebut, ia mengartikulasikan pelajaran: membaca, menulis, dan kalkulus.” [John Dewey]

Berdasarkan eksperimen di sekolah percobaan, John Dewey menekankan bahwa pendidikan harus aktif, kontekstual, dan bermakna. Melalui pragmatisme, pembelajaran diuji dari manfaat praktisnya; refleksi memungkinkan siswa menghubungkan pengalaman dengan pengetahuan; dan learning by doing menekankan keterlibatan langsung dalam aktivitas nyata. Pendekatan ini membentuk individu yang kreatif, kritis, adaptif, dan mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.

Hasil penelitian John Dewey menegaskan pentingnya pendidikan yang menekankan pengalaman, refleksi, dan learning by doing, namun pemikirannya lebih jelas dipahami bila dibandingkan dengan filsuf pendidikan kontemporer lain untuk melihat perbedaan pendekatan, fokus, dan metode pembelajaran.

Perbandingan dengan Filsuf Pendidikan Kontemporer

Berbagai filsuf pendidikan kontemporer menawarkan pandangan unik tentang tujuan, metode, dan makna belajar termasuk John Dewey. Ada yang menekankan pengalaman langsung, ada pula yang fokus pada refleksi kritis atau pengembangan kemampuan sosial dan moral. Memahami perbedaan ini membantu pendidik merancang strategi pembelajaran yang efektif, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik di era modern.

Berikut beberapa perbandingan pandangan filsuf terkait pendidikan.

Tabel 2. Pandangan Filsuf Pendidikan Kontemporer

AspekJohn DeweyMaria MontessoriPaulo Freire
Sifat pendekatanProgresif – ExperientialNaturalis – IndividualistikKritis – Transformatif
Fokus utamaPembelajaran melalui pengalamanPembelajaran mandiri dan perkembangan alami anakPendidikan sebagai pembebasan dan kesadaran kritis
Peran anakAktif, terlibat dalam pengalaman yang dipanduSangat aktif, belajar mandiri di lingkungan yang terstrukturAktif, membangun kesadaran kritis terhadap realitas sosial
Struktur pembelajaranTerbuka tetapi tetap terstruktur dan diarahkanSangat bebas dengan alat bantu dan kontrol diriDialogis dan politis, berkaitan dengan kehidupan nyata siswa
Tujuan pendidikanMembentuk warga demokratis dan reflektifMengembangkan potensi anak secara alamiMembebaskan dari penindasan dan membangun kesadaran sosial

Untuk memahami secara lebih mendalam gagasan Dewey, langkah pertama adalah menelusuri landasan filosofis yang ia gunakan, yakni pragmatisme. Pandangan ini menjadi dasar dari seluruh teori pendidikannya.

Pragmatisme dalam Pendidikan John Dewey

John Dewey, seorang filsuf pendidikan terkemuka, mengembangkan pandangan pragmatisme dalam dunia pendidikan. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menegaskan bahwa kebenaran suatu gagasan ditentukan oleh manfaat praktis serta hasilnya dalam pengalaman. Menurut aliran ini, kebenaran bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus diuji melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Baginya, proses belajar harus berangkat dari pengalaman konkret, bukan sekadar teori abstrak. Dewey menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan, melainkan tentang bagaimana seseorang membangun pemahaman melalui pengalaman, refleksi, dan tindakan nyata.

Ciri Pragmatisme

  1. Experientialism → Pengetahuan muncul dari interaksi aktif manusia dengan lingkungannya, bukan dari teori abstrak. Proses belajar dan berpikir harus dimulai dari pengalaman nyata serta masalah konkret.
  2. Instrumentalism → Gagasan dipandang sebagai alat (instrumen) untuk mencapai tujuan. Berpikir bukan hanya kontemplasi pasif, melainkan alat aktif untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah memahami fondasi pragmatisme, Dewey mengembangkan konsep penting lain yaitu refleksi. Bagi Dewey, refleksi bukan sekadar berpikir ulang, melainkan proses kritis yang menghubungkan pengalaman dengan pemahaman baru.

Konsep Pengalaman dan Refleksi menurut John Dewey dalam Pembelajaran

Menurut Dewey, pengetahuan seseorang merupakan kumpulan dari pengalaman dan refleksinya.

“We do not learn from experience… We learn from reflecting on experience.” [How We Think]

Seorang guru bertugas untuk membantu mengarahkan pengalaman siswa agar menjadi pengalaman yang terstruktur, reflektif, dan memperkaya pemahaman.

“Guru tidak berada di sekolah untuk memaksakan ide-ide tertentu atau membentuk kebiasaan-kebiasaan tertentu pada anak; tetapi sebagai anggota masyarakat, guru hadir untuk memilih pengaruh-pengaruh yang akan memengaruhi anak dan membantunya dalam menanggapi pengaruh-pengaruh tersebut dengan tepat.” [John Dewey].

Guru perlu memahami latar belakang, minat, dan kemampuan siswa. Selain itu, guru tidak boleh mendikte, tetapi:

  1. Menyediakan kesempatan belajar yang relevan dengan kehidupan siswa. Sehingga, semua siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
  2. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif. Mereka dapat mengekspresikan pendapat.
  3. Mendorong siswa untuk berpikir kritis terhadap pengalaman mereka. Dengan begitu, mereka akan belajar menghargai pandangan orang lain dalam diskusi kelompok.

Guru berperan dalam menghubungkan pengalaman lama dengan pengalaman baru agar terjadi pertumbuhan intelektual dan moral yang berkelanjutan. Seorang guru perlu memahami konteks sosial dan psikologis siswa dengan Guru perlu memahami latar belakang, minat, dan kemampuan siswa.

Berpikir reflektif

John Dewey mempekenalkan istilah berpikir reflektif (reflective thinking), proses untuk mengorganisir pengalaman dan menemukan makna. Menurutnya, pengalaman saja tidak cukup, mengalami sesuatu tidak otomatis membuat kita belajar. Banyak orang mengalami hal yang sama berulang kali, tetapi tidak mengambil pelajaran darinya.

Belajar terjadi saat kita merenung (refleksi). Belajar sejati muncul ketika kita berhenti sejenak, berpikir, dan mengevaluasi pengalaman:

  • Apa yang terjadi?
  • Mengapa hal itu terjadi?
  • Apa dampaknya?
  • Apa yang bisa saya lakukan ke depan?

Refleksi mengubah pengalaman menjadi pengetahuan

  • Proses refleksi menjadikan pengalaman mentah sebagai pembelajaran bermakna.
  • Inilah dasar konsep learning by doing menurut Dewey.

Dalam perspektif Dewey, guru tidak berperan sebagai penguasa kelas yang mendikte jalannya pembelajaran, melainkan sebagai pemandu yang membantu mengarahkan pengalaman siswa agar menjadi pengalaman yang terstruktur, reflektif, dan memperkaya pemahaman.

Peran guru mencakup:

  • Menyediakan kesempatan belajar yang relevan dengan kehidupan siswa.
  • Mengajukan pertanyaan reflektif yang mendorong siswa berpikir kritis terhadap pengalaman mereka.
  • Menghubungkan pengalaman lama dengan pengalaman baru agar terjadi pertumbuhan intelektual dan moral yang berkelanjutan.

Dari dasar pragmatisme dan proses refleksi, Dewey menekankan prinsip learning by doing. Melalui pendekatan ini, belajar dipahami sebagai aktivitas aktif di mana peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman nyata, bukan hanya hafalan.

Baca selengkapnya: Refleksi Pembelajaran: Menyelami Diri untuk Peningkatan Pembelajaran

Learning by Doing: Belajar Melalui Pengalaman

John Dewey menekankan bahwa belajar adalah proses aktif, di mana peserta didik tidak sekadar menerima informasi, tetapi terlibat langsung dalam aktivitas yang membangun pemahaman. Dalam pandangan Dewey, pengalaman menjadi dasar utama pembelajaran, karena setiap interaksi dengan lingkungan menyediakan kesempatan untuk mengamati, mencoba, dan memahami. Konsep ini juga menekankan keterkaitan antara teori dan praktik, sehingga pengetahuan tidak hanya bersifat abstrak tetapi dapat diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, Dewey menyoroti pentingnya belajar yang kontekstual dan bermakna, di mana pengalaman belajar dihubungkan dengan situasi nyata yang relevan bagi peserta didik, sehingga pembelajaran menjadi lebih hidup dan berkesan.

Belajar sebagai proses aktif

  • Siswa harus berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar.
  • Pengetahuan diperoleh melalui interaksi langsung dengan lingkungan, bukan sekadar dari buku atau guru.

Pengalaman sebagai dasar pembelajaran

  • Pengalaman adalah kunci utama dalam belajar. Namun, tidak semua pengalaman otomatis mendidik.
  • Oleh karena itu:
    1. Guru harus merancang pengalaman belajar yang terarah dan relevan.
    2. Pengalaman tersebut harus memicu pemikiran, rasa ingin tahu, dan refleksi.

Keterkaitan antara teori dan praktik

  • Teori harus diuji dalam praktik, misalnya melalui eksperimen, proyek, diskusi, dan pemecahan masalah.

Belajar kontekstual dan bermakna

  • Belajar harus terkait dengan kehidupan nyata siswa.
  • Proses belajar tidak terpisah dari masalah sosial, budaya, dan lingkungan yang dihadapi siswa sehari-hari.

Baca juga: Pembelajaran Mendalam (Deep Learning): Konsep, Landasan, Prinsip, dan Implementasi

Peran Guru dalam Pendidikan menurut John Dewey

Menurut John Dewey dalam My Paedagogic Creed,

The teacher is the prophet of the true God and the usherer-in of the true kingdom of God. He is not a taskmaster, but a guide and helper.

Dewey berpendapat, Guru adalah Utusan Tuhan yang sebenarnya dan pengantar ke Kerajaan Allah yang sejati. Ia bukan seorang pemberi tugas, melainkan seorang pembimbing dan penolong.

Guru sebagai Fasilitator

Dalam praktik pendidikan modern yang terinspirasi dari pemikiran Dewey, peran guru dipandang sebagai:

  • Pembimbing, bukan pemilik otoritas mutlak
  • Pencipta lingkungan belajar yang mendukung
  • Penghubung materi dengan kehidupan nyata
  • Pendorong kolaborasi dan diskusi
  • Penyesuai pembelajaran dengan kebutuhan individu

Lebih lanjut, John Dewey dalam How We Think mengungkapkan,

“Give the pupils something to do, not something to learn; and the doing is of such a nature as to demand thinking; learning naturally results.”

yang artinya, berikan siswa sesuatu untuk dilakukan, bukan hanya sesuatu untuk dipelajari; dimana tindakan tersebut sifatnya menuntut pemikiran; itulah hasil belajar secara alami.

Dalam My Paedagogic Creed, Dewey menambahkan,

“I believe that the teacher’s place and work in the school is to be determined by the reference to the ultimate conditions of growth.”

yang artinya, saya percaya bahwa peran dan tugas guru di sekolah adalah menyediakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan.

Guru Sebagai Pemandu Pengalaman

Menurut Dewey, pengetahuan seseorang merupakan kumpulan dari pengalaman dan refleksinya. Sehingga sangat penting bagi setiap guru bertugas untuk mengarahkan pengalaman siswa agar menjadi pengalaman yang terstruktur, reflektif, dan memperkaya pemahaman.

Guru berperan dalam menghubungkan pengalaman lama dengan pengalaman baru agar terjadi pertumbuhan intelektual dan moral yang berkelanjutan. Guru memahami konteks sosial dan psikologis siswa dengan Guru perlu memahami latar belakang, minat, dan kemampuan siswa. Dia tidak boleh mendikte.

Dewey juga mempekenalkan tentang berpikir reflektif (reflective thinking), proses untuk mengorganisir pengalaman dan menemukan makna. Menurutnya, pengalaman saja tidak cukup, mengalami sesuatu tidak otomatis membuat kita belajar. Banyak orang mengalami hal yang sama berulang kali, tetapi tidak mengambil pelajaran darinya.

Belajar terjadi saat kita merenung (refleksi). Belajar sejati muncul ketika kita berhenti sejenak, berpikir, dan mengevaluasi pengalaman. Refleksi mengubah pengalaman menjadi pengetahuan

Peran guru mencakup:

  • Menyediakan kesempatan belajar yang relevan dengan kehidupan siswa.
  • Mengajukan pertanyaan reflektif yang mendorong siswa berpikir kritis terhadap pengalaman mereka.
  • Menghubungkan pengalaman lama dengan pengalaman baru agar terjadi pertumbuhan intelektual dan moral yang berkelanjutan.

Guru Sebagai Pembentuk Karakter

Selain menjadi pemandu pengalaman, guru juga memiliki peran penting sebagai pembentuk karakter. Pendidikan tidak hanya soal pengetahuan, melainkan juga tentang pembentukan nilai moral dan sikap sosial.

Peran guru dalam pembentukan karakter mencakup:

  • Mengatur lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mengalami, merasakan, dan merefleksikan nilai moral.
  • Menjadi teladan moral melalui sikap dan tindakan sehari-hari.
  • Menanamkan nilai dengan cara:
    1. Mendorong.
    2. Mengajarkan.
    3. Menumbuhkan.
  • Membimbing siswa untuk berpikir kritis terhadap tindakan mereka.
  • Mengembangkan keterampilan sosial serta sikap peduli terhadap orang lain, misalnya melalui kerja kelompok, diskusi, dan proyek sosial.

Kritik dan Saran Dewey: Teori Pendidikan

Tabel 3. Kritik dan Saran Dewey

AspekTeori KonservatifUnfolding Theory (Teori Perkembangan Alami)Pendidikan Progresif (Dewey)
Pandangan terhadap siswaPenerima pasif pengetahuanIndividu yang berkembang alamiIndividu aktif yang belajar melalui pengalaman
Metode belajarHafalan, ceramah, disiplin ketatBelajar bebas sesuai perkembangan anakBelajar aktif, eksploratif, reflektif
Fokus kurikulumSubjek/isi pelajaran yang sudah ditentukanPotensi internal anakKebutuhan dan pengalaman siswa, relevan dengan kehidupan
Tujuan pendidikanPewarisan budaya dan pengetahuan lamaAktualisasi diri individuPembentukan individu kritis dan warga demokratis
Kritik DeweyKaku, tidak demokratis, tidak relevanTerlalu pasif, kurang arahan, individualistik

Kutipan-kutipan Pemikiran John Dewey

Berikut beberapa kutipan pemikiran Joh Dewey terkait pendidikan.

Kebenaraan

“Truth is what gives ‘satisfaction’ in the way of belief when the belief works in the direction of successful action.”
— John Dewey, The Quest for Certainty (1929)

Makna: Kebenaran adalah apa yang memberikan ‘kepuasan’ dalam hal keyakinan ketika keyakinan tersebut bekerja ke arah tindakan yang berhasil.”

Berpikir Muncul dari Masalah

“We only think when we are confronted with problems.” – John Dewey

Makna: Manusia hanya akan berpikir secara mendalam ketika dihadapkan pada masalah nyata. Pendidikan seharusnya menghadirkan tantangan agar siswa terbiasa berpikir kritis, menemukan solusi, dan mengembangkan kreativitas.

Pendidikan sebagai Proses Seumur Hidup

“The aim of education is to enable individuals to continue their education.” – John Dewey

Makna: Tujuan pendidikan adalah menciptakan individu yang mampu belajar sepanjang hayat. Pendidikan bukan sekadar hasil akhir, melainkan proses berkelanjutan yang menanamkan kecintaan belajar, bukan sekadar menghafal informasi untuk ujian.

Tujuan dan Usaha sebagai Syarat Hidup

“Without some goals and some efforts to reach it, no man can live.” – John Dewey

Makna: Hidup membutuhkan tujuan dan usaha. Tanpa keduanya, manusia tidak memiliki arah. Pendidikan berfungsi membantu siswa menemukan tujuan hidupnya dan memberikan sarana untuk mencapainya.

Diri yang Terbentuk oleh Pilihan

“The self is not something ready-made, but something in continuous formation through choice of action.” – John Dewey

Makna: Jati diri manusia bukan sesuatu yang sudah jadi sejak lahir, melainkan hasil dari pilihan tindakan yang terus diambil sepanjang hidup. Pendidikan harus menyiapkan siswa agar mampu membuat pilihan yang bijak dan bertanggung jawab.

Kunci Kebahagiaan

“To find out what one is fitted to do, and to secure an opportunity to do it, is the key to happiness.” – John Dewey

Makna: Kebahagiaan sejati terletak pada menemukan apa yang sesuai dengan diri kita, lalu memiliki kesempatan untuk melakukannya. Pendidikan seharusnya membantu siswa mengenali potensi dirinya dan mengarahkannya agar dapat berkembang secara optimal.

Konsistensi antara Perkataan dan Tindakan

“Just as a flower which seems beautiful and has color but no perfume, so are the fruitless words of the man who speaks them but does them not.” – John Dewey

Makna: Kata-kata tanpa tindakan sama seperti bunga indah yang tidak harum. Pendidikan harus membentuk integritas, yaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.

Menjadi Lebih Baik

“The good man is the man who, no matter how morally unworthy he has been, is moving to become better.” – John Dewey

Makna: Kebaikan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang usaha terus-menerus untuk menjadi lebih baik. Pendidikan harus mendorong siswa untuk memperbaiki diri dan berkembang secara moral maupun intelektual.

Kesimpulan

Pemikiran John Dewey memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan modern. Melalui filsafat pragmatisme, ia menegaskan bahwa kebenaran harus diuji melalui manfaat nyata. Dengan konsep refleksi, Dewey menunjukkan pentingnya proses berpikir kritis untuk menghubungkan pengalaman dengan pengetahuan. Sementara itu, prinsip learning by doing menekankan bahwa belajar terbaik terjadi ketika peserta didik terlibat langsung dalam pengalaman nyata.

Ketiga gagasan ini membentuk satu kesatuan yang relevan hingga saat ini. Di tengah tantangan abad ke-21, pendidikan yang berpusat pada pengalaman, refleksi, dan manfaat praktis tetap menjadi kunci dalam membangun generasi yang kreatif, adaptif, dan kritis.

Sumber Rujukan: John Dewey – Stanford Encyclopedia of Philosophy


Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

close

Eksplorasi konten lain dari Herman Anis

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca