Perkembangan Intelektual Peserta Didik

Tahap perkembangan intelektual

HermanAnis.com – Teman-teman semua, dalam bahasan kali ini kita akan membahas satu topik penting dalam pembelajaran yakni Perkembangan Peserta Didik dengan topik yaitu perkembangan intelektual peserta didik. Pembahasan akan di awali dengan penjelasan tentang perkembangan intelektual menurut Piaget dan pakar lainnya, faktor-faktor yang memepengaruhi, ukuran integensi, dan faktor penghambat perkembangan intelektual peserta didik.

Intelek (intellect) dalam Webster New World Dictionary of American Language berarti: 1) kecakapan berpikir, mengamati, atau mengerti; kecakapan untuk mengamati hubungan-hubungan, perbedaanperbedaan, dan sebagainya; 2) kecakapan mental yang besar; dan 3) pikiran atau intelegensi. Sehingga intelegensi dapat di artikan sebagai suatu bentuk tingkah laku tertentu yang tampil dalam kelancaran tingkah laku.

Kata intelegensi mengandung unsur yang sama dengan intelek sehingga memiliki makna yang hampir sama, yaitu menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir atau bertindak. Dalam dunia psikologi dan pendidikan, perkembangan intelektual atau intelek di kenal dengan istilah perkembangan kognitif.

Perkembangan kognitif manusia merupakan proses psikologi yang di dalamnya melibatkan proses memperoleh, menyusun, dan menggunakan pengetahuan. Tidak hanya itu, perkembangan kognitif juga melibatkan kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati, mengingat, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan memecahkan persoalan yang berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan.

Baca Juga: Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

A. Teori perkembangan intelektual menurut Piaget, Lev Vygotsky, Erik Erikson, Lawrence Kohlberg dan lainnya

Intelek atau daya pikir seseorang akan berkembang sejalan dengan pertumbuhan saraf otak. Pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak. Dengan demikian, kemampuan berpikir di pengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya dengan baik. Perkembangan intelek ini di tunjukkan dalam perilaku seseorang, yaitu tindakan menolak dan memilih sesuatu.

Tindakan tersebut berarti telah mendapatkan proses mempertimbangkan atau proses analisis, evaluasi, sampai dengan kemampuan menarik kesimpulan dan keputusan. Fungsi ini akan terus berkembang mengikuti kekayaan pengetahuan anak tentang dunia luar dan proses belajar yang di alaminya.

Oleh karena itu, pada saatnya nanti seseorang akan memiliki kemampuan dalam melakukan peramalan dan prediksi, perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan sintetis. Perkembangan kemampuan berpikir semacam inilah yang di kenal sebagai perkembangan kognitif. Perkembangan intelek merupakan upaya atau potensi untuk memahami sesuatu hal yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir atau bertindak secara abstrak, serta kesanggupan mental untuk memahami, mengamati, menghubungkan suatu kemampuan secara efektif.

Menurut Chaplin (1993), istilah intelek dapat di artikan sebagai:

  1. Proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai,
    dan kemampuan mempertimbangkan;
  2. Kemampuan mental atau inteligensi

Perkembangan intelektual adalah proses pertumbuhan dan perkembangan kemampuan kognitif seseorang sepanjang hidupnya, yang mencakup peningkatan dalam berpikir, pemahaman, pengambilan keputusan, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Perkembangan intelektual melibatkan perubahan dalam cara individu mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi.

Pakar terkenal dalam bidang perkembangan intelektual adalah Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang mengembangkan teori perkembangan kognitif. Menurut teori Piaget, perkembangan intelektual melibatkan empat tahap utama, yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap konkret-operasional, dan tahap formal-operasional, yang telah di jelaskan sebelumnya.

Teori perkembangan intelektual Piaget telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang bagaimana anak-anak dan individu pada umumnya mengembangkan pemahaman mereka tentang dunia sekitar dan bagaimana mereka memproses informasi secara kognitif. Penjelasan perkembangan intelektul menurut Piaget di jelaskan dalam bagian D tulisan ini.

Namun, perlu di catat bahwa ada berbagai teori dan pandangan lainnya dalam bidang perkembangan intelektual yang telah di kemukakan oleh pakar lain, seperti Lev Vygotsky, Erik Erikson, Lawrence Kohlberg, dan lainnya yang memiliki perspektif berbeda tentang perkembangan intelektual. Berikut penjelasan ringkasnya

Baca Juga: Perkembangan Fisik dan Psikomotorik Peserta Didik

1. Perkembangan intelektual menurut Lev Vygotsky

Lev Vygotsky adalah seorang psikolog asal Rusia yang di kenal dengan teorinya tentang perkembangan kognitif dan sosial. Vygotsky menekankan peran penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual individu. Menurutnya, anak-anak belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau rekan sebaya yang lebih kompeten dalam proses yang di sebut sebagai “zona perkembangan aktual.”

Zona ini adalah jarak antara kemampuan yang dimiliki oleh individu secara mandiri dan kemampuan yang dapat mereka capai dengan bantuan dari orang lain. Vygotsky juga menyoroti pentingnya bahasa dalam perkembangan intelektual, mengatakan bahwa bahasa memainkan peran sentral dalam memfasilitasi pemahaman dan pemecahan masalah.

Baca Juga: Perkembangan Emosi Peserta Didik

2. Perkembangan intelektual menurut Erik Erikson

Erik Erikson adalah seorang psikoanalisis yang mengembangkan teori perkembangan psikososial. Teorinya mengidentifikasi serangkaian tahapan perkembangan yang melewati seluruh siklus hidup manusia. Dalam konteks perkembangan intelektual, Erikson menganggap konflik-konflik psikososial sebagai pendorong perkembangan individu. Misalnya, pada masa remaja, individu mengalami konflik antara identitas versus konfusi peran. Resolusi konflik ini berdampak pada perkembangan intelektual dan emosional mereka.

Baca Juga: Perkembangan Sosial Peserta Didik

3. Perkembangan intelektual menurut Lawrence Kohlberg

Lawrence Kohlberg di kenal karena teorinya tentang perkembangan moral. Teorinya menguraikan tiga tingkat perkembangan moral yang masing-masing terdiri dari dua tahap. Kohlberg percaya bahwa individu melewati tingkat-tingkat ini sepanjang hidup mereka, dengan perkembangan intelektual memainkan peran kunci dalam memahami dan mengambil keputusan moral. Contoh tingkat moralnya termasuk moralitas prekonvensional (terutama berdasarkan penghargaan dan hukuman), moralitas konvensional (berdasarkan norma sosial), dan moralitas poskonvensional (berdasarkan prinsip-prinsip etika pribadi).

4. Perkembangan intelektual menurut Howard Gardner

Gardner mengembangkan teori kecerdasan majemuk yang menyarankan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya terbatas pada aspek-aspek intelektual tradisional seperti kecerdasan verbal dan logis, tetapi juga mencakup berbagai jenis kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan lainnya.

5. Perkembangan intelektual menurut Jerome Bruner

Bruner mengembangkan teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif individu dalam pembentukan pemahaman mereka melalui proses pembelajaran yang aktif, eksplorasi, dan konstruksi pengetahuan.

Pandangan dari kelima pakar ini memberikan wawasan yang berbeda tentang bagaimana individu mengalami dan mengatasi perkembangan intelektual dan psikososial mereka sepanjang hidup. Pemahaman ini membantu kita memahami bagaimana aspek-aspek intelektual dan moral dapat berinteraksi dan memengaruhi perkembangan individu.

Setiap pakar ini memiliki pandangan unik tentang perkembangan intelektual dan berkontribusi pada pemahaman kita tentang bagaimana manusia berkembang secara kognitif dan emosional sepanjang hidup mereka. Perbedaan dalam teori-teori ini memberikan beragam sudut pandang untuk melihat perkembangan intelektual individu.

Referensi:
Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. International Universities Press.

B. Ukuran Intelegensi

Para ahli psikologi telah mengembangkan alat ukur dalam bentuk tes intelegensi untuk menyatakan tingkat kemampuan berpikir atau intelegensi seseorang. Salah satu tes intelegensi yang terkenal adalah tes yang di kembangkan oleh Alferd Binnet (1857–1911). Binnet seorang ahli ilmu jiwa (psychology) Prancis yang mengembangkan tes intelegensi yang agak umum.

Tes ciptaan Binnet ini selanjutnya di kembangkan oleh Theodore Simon, sehingga tes tersebut terkenal dengan sebutan Tes Binnet-Simon. Hasil tes intelegensi di nyatakan dalam angka yang menggambarkan perbandingan antara unsur kemampuan mental atau kecerdasan mental (mental age disingkat MA) dan umur kalender (chronogical age disingkat CA).

Pengukuran tingkat intelegensi dalam bentuk perbandingan ini diajukan oleh William Stern (1871–1938), seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman. Stern menyebutnya dengan Intelligence Quotient yang di singkat IQ, artinya perbandingan kecerdasan.

Rumus perhitungan yang di ajukan adalah:

Apabila tes tersebut di berikan kepada anak umur tertentu, kemudian ia dapat menjawab dengan betul seluruhnya, berarti umur kecerdasannya (MA) sama dengan 100. Nilai ini menggambarkan kemampuan seorang anak yang normal.

Misalnya, anak yang berumur 6 tahun hanya dapat menjawab tes untuk anak umur 5 tahun, akan di dapat nilai IQ di bawah 100 dan dinyatakan sebagai anak berkemampuan di bawah normal. Sebaliknya, anak usia 5 tahun yang dapat menjawab tes yang di peruntukkan bagi anak usia 6 tahun dengan benar maka nilai IQ anak itu di atas 100, dan ia di katakan anak yang cerdas.

Pada anak usia remaja, IQ di hitung dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri atas berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar, dan semacamnya) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dapat di jawab dengan benar, kemudian membandingkannya dengan sebuah daftar (yang di buat berdasarkan penelitian yang terpercaya).

Dengan cara itu di dapatkan nilai IQ anak yang bersangkutan. Untuk anak-anak, cara menghitung IQ yaitu dengan menyuruh anak untuk melakukan pekerjaan tertentu dan menjawab pertanyaan tertentu (misalnya, menghitung sampai 10 atau 100), menyebut nama-nama hari atau bulan, serta membuka pintu dan menutupnya kembali.

Jumlah pekerjaan yang biasa di lakukan anak kemudian di cocokkan dengan suatu daftar untuk mengetahui umur mental (MA) anak. Makin banyak hal yang dapat di jawab atau di kerjakan dengan benar, makin tinggi usia mentalnya. Dengan menggunakan perhitungan IQ dapat di ketahui nilai IQ anak.

Rujukan:
Pupu Saeful Rahmat. 2018. Perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara, 2018

C. Faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual anak

Perkembangan intelektual anak di pengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks, termasuk faktor genetik, lingkungan, sosial, dan pendidikan. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual anak beserta rujukannya:

  1. Faktor Genetik:
    • Penurunan Genetik: Anak mewarisi sejumlah faktor genetik yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif mereka, seperti kemampuan intelektual yang diwariskan dari orang tua.
    Rujukan:
    Turkheimer, E., Haley, A., Waldron, M., D’Onofrio, B., & Gottesman, I. I. (2003). Socioeconomic status modifies heritability of IQ in young children. Psychological Science, 14(6), 623-628.
  2. Lingkungan Keluarga:
    • Stimulasi Kognitif: Interaksi positif, bermain, dan komunikasi dalam lingkungan keluarga dapat memberikan stimulus penting untuk perkembangan intelektual anak.Pendidikan Orang Tua: Pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga dapat memengaruhi cara mereka mendukung perkembangan anak dalam hal literasi dan kognitif.
    Rujukan:
    Bradley, R. H., & Corwyn, R. F. (2002). Socioeconomic status and child development. Annual Review of Psychology, 53, 371-399.
  3. Lingkungan Sosial dan Budaya:
    • Interaksi dengan Teman Sebaya: Hubungan sosial dan interaksi dengan teman sebaya dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak-anak.Nilai dan Norma Budaya: Nilai, norma, dan tradisi budaya keluarga dan masyarakat juga memainkan peran dalam perkembangan intelektual anak.
    Rujukan:
    Rogoff, B. (2003). The cultural nature of human development. Oxford University Press.
  4. Akses Terhadap Pendidikan:
    • Akses Terhadap Pendidikan Dini: Partisipasi anak dalam program pendidikan dini atau sekolah prasekolah dapat memiliki dampak positif pada perkembangan kognitif mereka.Kualitas Pendidikan: Kualitas sekolah dan pendidikan yang diterima anak juga merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    Heckman, J. J. (2006). Skill formation and the economics of investing in disadvantaged children. Science, 312(5782), 1900-1902.
  5. Nutrisi dan Kesehatan:
    • Nutrisi yang Adekuat: Nutrisi yang cukup dan seimbang berkontribusi pada perkembangan otak dan kognitif anak.Kesehatan Umum: Kesehatan umum anak, termasuk tidur yang cukup, juga dapat memengaruhi kemampuan kognitif mereka.
    Rujukan:
    Grantham-McGregor, S., Cheung, Y. B., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., & Strupp, B. (2007). Developmental potential in the first 5 years for children in developing countries. The Lancet, 369(9555), 60-70.
  6. Pengaruh Media dan Teknologi:
    • Paparan terhadap Media: Paparan anak-anak terhadap media seperti televisi, internet, dan permainan video dapat memengaruhi perkembangan kognitif mereka. Kontrol dan pemilihan konten yang tepat penting dalam hal ini.
    Rujukan:
    Christakis, D. A. (2010). The impact of media on children and adolescents: Opportunities for clinical interventions. Pediatrics, 125(4), 756-767.
  7. Ketidakteraturan Dalam Kehidupan Anak:
    • Ketidakstabilan Keluarga: Ketidakteraturan atau konflik dalam kehidupan keluarga dapat berdampak negatif pada perkembangan intelektual anak.Perpindahan yang Sering: Seringnya perpindahan rumah atau sekolah juga dapat menjadi faktor stres yang memengaruhi perkembangan anak.
    Rujukan:
    Fomby, P., & Cherlin, A. J. (2007). Family instability and child well-being. American Sociological Review, 72(2), 181-204.
  8. Stres dan Trauma:
    • Paparan terhadap Stres atau Trauma: Anak-anak yang terpapar pada situasi stres atau trauma seperti perceraian, kehilangan, atau kejadian traumatis mungkin mengalami dampak negatif pada perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    Shonkoff, J. P., Boyce, W. T., & McEwen, B. S. (2009). Neuroscience, molecular biology, and the childhood roots of health disparities. JAMA, 301(21), 2252-2259.
  9. Kemampuan Resiliensi Anak:
    • Kemampuan Resiliensi: Kemampuan anak untuk mengatasi tantangan dan stres juga dapat memainkan peran dalam perkembangan intelektual mereka. Anak-anak yang memiliki kemampuan resiliensi yang baik mungkin lebih mampu mengatasi hambatan perkembangan.
    Rujukan:
    Masten, A. S., & Cicchetti, D. (2010). Developmental cascades. Development and Psychopathology, 22(3), 491-495.
  10. Kualitas Pengasuhan:
    • Gaya Pengasuhan: Gaya pengasuhan orang tua, seperti pendekatan otoriter, demokratis, atau permissif, dapat memengaruhi perkembangan intelektual anak dalam hal kepercayaan diri, motivasi, dan kemampuan berpikir kritis.
    Rujukan:
    Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. The Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.

Faktor-faktor ini juga merupakan bagian integral dari lingkungan dan pengalaman seorang anak yang dapat membentuk perkembangan intelektual mereka. Namun, perlu diingat bahwa pengaruh setiap faktor dapat bervariasi antara individu dan situasi, sehingga penting untuk mempertimbangkan konteks secara komprehensif ketika memahami perkembangan intelektual anak.

Faktor-faktor ini bekerja bersama untuk membentuk perkembangan intelektual anak. Peran masing-masing faktor dapat berinteraksi dan saling memengaruhi. Dalam praktiknya, penting untuk memahami bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dan pengalaman perkembangan mereka dapat berbeda satu sama lain.

D. Perkembangan intelektual anak menurut Piaget

Perkembangan Intelektual Peserta Didik 1
Foto Jean Piaget, Sumber: Pinterest

Piaget secara garis besar mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap, yaitu sensorik-motorik, praoperasi, operasional konkret, dan operasional formal. Tahap sensorimotorik ditandai oleh gaya pemikiran yang muncul berdasarkan tindakan indrawinya. Praoperasional diwarnai oleh munculnya penggunaan simbol-simbol untuk menghadirkan sesuatu benda atau pemikiran, khususnya penggunaan bahasa. Operasional konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis yang jelas. Tahap operasional formal dicirikan oleh mulai tumbuhnya pemikiran abstrak, hipotesis, deduksi, dan induktif.

Secara skematis, keempat tahap itu dapat digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Tahapan Perkembangan Kognitif dari Piaget

TahapUmurCiri Pokok Perkembangan
Sensorimotor0–2,5 tahun– Berdasarkan tindakan
– Langkah demi langkah
Praoperasional2,5–7 tahun– Penggunaan simbol/bahasa
Operasional konkret (konkreto Prerasional)7–11 tahun– Tanda pakai atauran jelas /logis
– Reversibel dan kekekalan
Operasi formal11 tahun ke atas– Hipotesis
– Abstrak
– Deduktif dan induktif
– Logis dan probabilitas

Penjelasan dari perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget tersebut sebagai berikut.

1. Tahap Pertama: Masa Sensorimotor (0–2,5 Tahun)

Masa Sensorimotor adalah tahap pertama dalam teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Tahap ini berlangsung dari kelahiran hingga sekitar usia 2,5 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mengalami perkembangan kognitif yang sangat cepat dan berfokus pada pengembangan pemahaman mereka tentang dunia melalui indra dan tindakan fisik.

Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari Masa Sensorimotor menurut Piaget:

  1. Koordinasi Motorik: Anak-anak dalam tahap ini sedang mengembangkan keterampilan motorik mereka. Mereka belajar untuk mengendalikan gerakan fisik mereka dan mulai melakukan tindakan sederhana seperti menggenggam, meraih, dan meremas.
  2. Persepsi dan Sensasi: Pada tahap ini, anak-anak memahami dunia melalui panca indera mereka. Mereka mulai mengenal objek-objek di sekitar mereka melalui pengalaman indera seperti melihat, mendengar, merasakan, mencium, dan mencicipi.
  3. Kurangnya Konsep Objektif Tetap: Salah satu karakteristik penting Masa Sensorimotor adalah kurangnya pemahaman tentang konsep objek yang tetap. Ini berarti bahwa anak-anak dalam tahap ini mungkin tidak menyadari bahwa objek yang tidak terlihat masih ada (misalnya, ketika sesuatu disembunyikan dari pandangan mereka).
  4. Munculnya Intiaksi: Intiaksi adalah proses mental di mana anak-anak mulai membangun representasi mental tentang objek dan peristiwa di dunia mereka. Ini adalah tahap awal dalam perkembangan pemikiran simbolik, yang nantinya akan berkembang lebih lanjut.
  5. Pengembangan Bahasa Awal: Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan keterampilan bahasa. Mereka mengucapkan kata-kata pertama mereka dan mulai memahami hubungan antara kata-kata dan objek atau tindakan.
  6. Egosentrisme: Anak-anak dalam tahap ini cenderung egosentris, yang berarti mereka melihat dunia dari sudut pandang mereka sendiri dan sulit memahami perspektif orang lain.
  7. Eksperimen Motorik: Anak-anak dalam tahap ini sering melakukan eksperimen fisik untuk memahami bagaimana dunia berfungsi. Mereka mungkin mencoba menjatuhkan benda untuk melihat apa yang terjadi atau meraba objek untuk memahami tekstur dan bentuknya.
  8. Pengembangan Keterampilan Sosial Awal: Meskipun perkembangan sosial belum sepenuhnya berkembang, anak-anak pada tahap ini mulai mengembangkan keterampilan sosial awal, seperti pengenalan wajah dan interaksi dasar dengan orang tua dan perawat.

Masa Sensorimotor adalah tahap yang penting dalam perkembangan kognitif anak karena merupakan awal dari pemahaman mereka tentang dunia yang mengarah ke tahap-tahap perkembangan berikutnya dalam teori Piaget.

2. Tahap Kedua: Masa Praoperasional (2,5–7 Tahun)

Masa Praoperasional adalah tahap kedua dalam teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Tahap ini terjadi sekitar usia 2,5 hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih kompleks daripada pada masa sensorimotor, tetapi mereka masih memiliki keterbatasan dalam pemikiran logis. Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari Masa Praoperasional menurut Piaget:

  1. Pensimbolan: Anak-anak dalam tahap ini mulai menggunakan simbol-simbol, seperti kata-kata dan gambar, untuk merepresentasikan objek dan peristiwa dalam dunia mereka. Ini adalah tahap awal pengembangan pemikiran simbolik.
  2. Egosentrisme Berprasangka: Anak-anak pada tahap ini masih cenderung egosentris. Mereka sulit memahami pandangan dan perasaan orang lain, dan cenderung menganggap bahwa semua orang melihat dunia seperti yang mereka lihat.
  3. Pemikiran Intuitif: Anak-anak dalam tahap ini cenderung menggunakan pemikiran intuitif, yang berarti mereka mengandalkan insting dan intuisi daripada pemikiran logis dan analitis.
  4. Kurangnya Konservasi: Salah satu ciri utama dari tahap ini adalah kurangnya pemahaman tentang konsep konservasi. Anak-anak mungkin merasa bahwa jumlah atau karakteristik objek berubah hanya karena penampilan fisik mereka berubah, meskipun esensinya tetap sama.
  5. Pengembangan Bahasa: Kemampuan bahasa anak-anak terus berkembang dengan cepat. Mereka mulai menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain dan untuk memahami dunia di sekitar mereka.
  6. Antropomorfisme: Anak-anak mungkin cenderung memberikan sifat-sifat manusia kepada benda mati atau hewan. Ini adalah contoh pemikiran praoperasional yang tidak logis.
  7. Pemikiran Transdiktif: Anak-anak dalam tahap ini cenderung membuat kesimpulan secara transdiktif atau generalisasi yang sederhana. Mereka mungkin menganggap bahwa jika satu objek serupa dengan objek lain dalam satu aspek, maka keseluruhan objek serupa dalam segala hal.
  8. Perkembangan Peran: Anak-anak dalam tahap ini cenderung tertarik pada peran dan bermain peran, seperti berpura-pura menjadi dokter, guru, atau pekerja lain.

Tahap Praoperasional adalah tahap yang penting dalam perkembangan kognitif anak karena anak-anak mulai menggunakan bahasa dan simbol-simbol untuk berpikir tentang dunia mereka. Namun, mereka masih memiliki keterbatasan dalam pemikiran logis dan perlu melalui tahap-tahap perkembangan berikutnya untuk mencapai pemikiran operasional konkret yang lebih logis.

3. Tahap Ketiga: Masa Operasional Konkret (7–11 Tahun)

Masa “Masa Operasional Konkret” adalah tahap ketiga dalam teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Tahap ini terjadi sekitar usia 7 hingga 11 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan pemikiran yang lebih logis dan konkret dibandingkan dengan tahap praoperasional sebelumnya. Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari Masa Operasional Konkret menurut Piaget:

  1. Pemikiran Operasional Konkret: Anak-anak pada tahap ini mampu melakukan operasi-operasi logis pada objek dan informasi yang konkret. Mereka mampu memahami konsep-konsep seperti volume, massa, dan urutan waktu secara lebih baik.
  2. Konservasi: Salah satu ciri utama tahap ini adalah pemahaman tentang konsep konservasi. Anak-anak dapat memahami bahwa jumlah atau karakteristik suatu objek tetap tidak berubah meskipun penampilan fisiknya berubah.
  3. Reversibilitas: Anak-anak dapat memahami bahwa suatu perubahan dapat dibalik atau dikembalikan ke keadaan semula. Ini berhubungan dengan pemahaman tentang konservasi.
  4. Pemahaman Urutan Waktu: Anak-anak mulai memahami urutan waktu dan konsep waktu seperti sebelum, sesudah, dan saat ini secara lebih baik.
  5. Pemecahan Masalah Konkret: Mereka mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan objek-objek fisik dan situasi konkret, seperti masalah matematika yang melibatkan objek nyata.
  6. Kemampuan Menggunakan Logika: Anak-anak pada tahap ini dapat menggunakan logika dalam pemikiran mereka. Mereka dapat mengembangkan argumentasi berdasarkan fakta konkret dan mengikuti aturan logika.
  7. Kurangnya Kemampuan Pemikiran Abstrak: Meskipun mereka memiliki kemampuan pemikiran yang lebih logis, anak-anak pada tahap ini masih memiliki keterbatasan dalam pemikiran abstrak. Mereka mungkin masih kesulitan dengan konsep-konsep yang sangat abstrak atau teoretis.

Masa Operasional Konkret adalah tahap yang penting dalam perkembangan kognitif anak karena anak-anak mulai mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih matang dan logis dalam menghadapi masalah-masalah konkret dalam kehidupan sehari-hari. Tahap ini adalah persiapan untuk tahap selanjutnya dalam teori Piaget, yaitu Masa Operasional Formal, di mana anak-anak mulai mengembangkan kemampuan pemikiran abstrak yang lebih tinggi.

4.Tahap Keempat: Masa Operasional (11 Tahun–Dewasa)

Masa Operasional Formal adalah tahap perkembangan kognitif terakhir dalam teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Tahap ini terjadi sekitar usia 11 tahun hingga masa dewasa. Pada tahap ini, individu mengalami perkembangan pemikiran yang lebih abstrak, logis, dan sistematis. Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari Masa Operasional Formal menurut Piaget:

  1. Pemikiran Abstrak: Individu pada tahap ini dapat berpikir secara abstrak dan mengatasi konsep-konsep yang tidak terbatas pada objek-objek fisik atau situasi konkret. Mereka dapat memahami konsep-konsep seperti keadilan, kebebasan, dan cinta.
  2. Kemampuan Pemecahan Masalah yang Kompleks: Anak-anak pada tahap ini mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan menggunakan pemikiran logis dan deduktif. Mereka dapat mengidentifikasi berbagai alternatif dan menganalisis konsekuensi dari setiap tindakan.
  3. Pemikiran Hipotetis-deduktif: Individu pada tahap ini dapat merumuskan hipotesis atau teori tentang situasi yang mungkin atau abstrak dan kemudian menguji hipotesis tersebut dengan berpikir deduktif. Mereka dapat menghubungkan pengetahuan dan informasi yang ada untuk mencapai kesimpulan yang baru.
  4. Pemahaman Tentang Kemungkinan: Masa Operasional Formal melibatkan pemahaman tentang konsep-konsep probabilitas dan kemungkinan. Individu dapat mengukur risiko dan mempertimbangkan berbagai hasil dari tindakan mereka.
  5. Kemampuan Berpikir Logis: Individu pada tahap ini dapat menggunakan pemikiran logis untuk mengembangkan argumen yang terstruktur dan memahami prinsip-prinsip ilmiah.
  6. Pemahaman Tentang Konsekuensi Etis: Individu mulai mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika dalam pengambilan keputusan mereka. Mereka dapat memahami bahwa tindakan mereka dapat memiliki konsekuensi etis yang signifikan.
  7. Pemikiran Metakognitif: Individu dapat memahami dan mengendalikan proses pemikiran mereka sendiri. Mereka dapat merenungkan cara mereka memecahkan masalah dan mencari cara untuk meningkatkan pemahaman mereka.
  8. Pemahaman Tentang Identitas Pribadi: Pada tahap ini, individu mulai mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang identitas pribadi mereka, termasuk nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan hidup.

Masa Operasional Formal adalah tahap perkembangan kognitif yang penting karena membuka pintu bagi pemikiran yang lebih kompleks dan abstrak. Individu pada tahap ini mampu mengatasi masalah yang lebih rumit dan memahami konsep-konsep yang lebih abstrak, yang sangat relevan dalam konteks pendidikan, ilmiah, dan pengambilan keputusan yang kompleks.

E. Faktor penghambat perkembangan intelektual peserta didik

Perkembangan intelektual peserta didik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penghambat yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk belajar dan berkembang secara optimal. Berikut adalah beberapa faktor penghambat perkembangan intelektual peserta didik beserta rujukannya:

  1. Kurangnya Akses Terhadap Pendidikan:
    • Kurangnya Akses Fisik: Beberapa peserta didik mungkin memiliki akses terbatas ke sekolah atau fasilitas pendidikan karena lokasi geografis atau masalah transportasi.
    Rujukan:
    UNESCO. (2020). Global Education Monitoring Report 2020: Inclusion and Education – All Means All. UNESCO Publishing.
  2. Kurangnya Sumber Daya dan Fasilitas Pendidikan:
    • Kurangnya Bahan Ajar: Fasilitas pendidikan yang tidak memadai dan kurangnya bahan ajar yang berkualitas dapat menghambat perkembangan intelektual peserta didik.
    Rujukan:
    World Bank. (2018). World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s Promise. World Bank.
  3. Kurangnya Dukungan Keluarga:
    • Kurangnya Dukungan Orang Tua: Peserta didik yang tidak mendapatkan dukungan keluarga yang memadai dalam hal bimbingan, dorongan, dan pembelajaran di rumah dapat mengalami hambatan dalam perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    Epstein, J. L., & Sanders, M. G. (2006). Prospects for change: Preparing educators for school, family, and community partnerships. Harvard Education Press.
  4. Gangguan Kesehatan dan Kondisi Medis:
    • Gangguan Kesehatan Kronis: Peserta didik yang menderita gangguan kesehatan kronis atau kondisi medis serius mungkin mengalami kesulitan dalam fokus dan partisipasi dalam pembelajaran.
    Rujukan:
    Blair, C. (2003). Behavioral inhibition and behavioral activation in young children: Relations with self-regulation and adaptation to preschool in children attending Head Start. Developmental Psychobiology, 42(3), 1-12.
  5. Gangguan Kesehatan Mental:
    • Gangguan Kesehatan Mental: Masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, atau gangguan perilaku dapat mempengaruhi konsentrasi dan kemampuan peserta didik untuk belajar.
    Rujukan:
    Kieling, C., Baker-Henningham, H., Belfer, M., Conti, G., Ertem, I., Omigbodun, O., & Rohde, L. A. (2011). Child and adolescent mental health worldwide: Evidence for action. The Lancet, 378(9801), 1515-1525.
  6. Faktor Sosial dan Ekonomi:
    • Kemiskinan: Peserta didik yang tumbuh dalam kondisi kemiskinan sering kali menghadapi hambatan ekonomi yang dapat membatasi akses mereka terhadap sumber daya pendidikan dan peluang perkembangan intelektual.
    Rujukan:
    Duncan, G. J., & Magnuson, K. (2011). The nature and impact of early achievement skills, attention skills, and behavior problems. Whither opportunity? Rising inequality, schools, and children’s life chances, 47-68.
  7. Diskriminasi dan Ketidaksetaraan:
    • Diskriminasi Rasial dan Sosial: Diskriminasi atau ketidaksetaraan dalam pendidikan dapat menghambat perkembangan intelektual peserta didik dari kelompok minoritas atau yang kurang beruntung.
    Rujukan:
    Sue, D. W., Capodilupo, C. M., Torino, G. C., Bucceri, J. M., Holder, A. M., Nadal, K. L., & Esquilin, M. (2007). Racial microaggressions in everyday life: Implications for clinical practice. American Psychologist, 62(4), 271-286.
  8. Kurangnya Pendidikan Inklusif:
    • Kurangnya Pendekatan Inklusif: Sistem pendidikan yang tidak inklusif atau tidak memadai dalam mengakomodasi kebutuhan beragam peserta didik, termasuk peserta didik dengan kebutuhan khusus, dapat menghambat perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). (2017). Education for people and planet: Creating sustainable futures for all. Global Education Monitoring Report.
  9. Gangguan Perkembangan dan Keberfungsian:
    • Gangguan Pembelajaran: Peserta didik yang menghadapi gangguan pembelajaran seperti disleksia atau ADHD mungkin memerlukan pendekatan pembelajaran yang khusus untuk mengatasi hambatan ini.
    Rujukan:
    American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-5®). American Psychiatric Pub.
  10. Stigma dan Persepsi Negatif:
    • Stigma Sosial: Stigma sosial terkait dengan identitas atau kondisi tertentu (misalnya, identitas gender atau orientasi seksual) dapat memengaruhi perkembangan intelektual peserta didik dan membatasi partisipasi mereka dalam lingkungan pendidikan.
    Rujukan:
    Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing stigma. Annual Review of Sociology, 363-385.
  11. Kurangnya Dukungan Psikososial:
    • Kurangnya Dukungan Emosional: Peserta didik yang mengalami kurangnya dukungan emosional dari lingkungan sosial mereka (seperti teman, keluarga, atau teman sekelas) mungkin mengalami kesulitan dalam mengatasi stres dan masalah emosional yang dapat menghambat perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    Eisenberg, N., Cumberland, A., & Spinrad, T. L. (1998). Parental socialization of emotion. Psychological Inquiry, 9(4), 241-273.
  12. Krisis atau Ketidakstabilan Keluarga:
    • Perceraian atau Ketidakstabilan Keluarga: Krisis keluarga seperti perceraian atau ketidakstabilan rumah tangga dapat mengganggu perkembangan intelektual peserta didik dengan menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan stresor yang berkepanjangan.
    Rujukan:
    Amato, P. R. (2000). The consequences of divorce for adults and children. Journal of Marriage and Family, 62(4), 1269-1287.
  13. Kurangnya Motivasi dan Rasa Percaya Diri:
    • Kurangnya Motivasi: Peserta didik yang kehilangan motivasi dalam belajar atau yang memiliki rendahnya rasa percaya diri dalam kemampuan akademis mereka dapat menghadapi hambatan signifikan dalam perkembangan intelektual mereka.
    Rujukan:
    Pintrich, P. R. (2003). A motivational science perspective on the role of student motivation in learning and teaching contexts. Journal of Educational Psychology, 95(4), 667-686.

Faktor-faktor ini juga dapat berinteraksi atau saling memengaruhi, dan mungkin ada faktor-faktor individu lainnya yang mempengaruhi perkembangan intelektual. Penting bagi pendidik dan pemangku kepentingan dalam pendidikan untuk memahami faktor-faktor ini dan berupaya mengatasi mereka untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan mendukung perkembangan intelektual peserta didik.

Jika anda menggunakan tulisan ini sebagai referensi, berikut contoh penulisan daftar pustakanya:

Format APA (American Psychological Association): Nama web/situs, artikel dibuat, judul artikel, waktu diakses, alamat website (URL) secara lengkap.

  • Hermananis.com. (2023, 11 September). Perkembangan Intelektual Peserta Didik. Diakses pada tgl bulan tahun, dari https://hermananis.com/perkembangan-intelektual-peserta-didik/

Demikain semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close