Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Filosofi Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara

HermanAnis.com – Teman-teman semua, pada kesempatan kali ini kita akan mengulas tentang Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara atau ada yang menuliskan sebagai Ki Hajar Dewantara.

Pada setiap Pidato Menteri Pendidikan Nasional dari masa kemasa, teks pidatonya selalu menjadikan Filosofi Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara sebagai dasar filosofis.

Asas pendidikan Anak dari Ki Hajar Dewantara

Ada satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara, yang melambangkan seperti apasih dasar atau asas pendidikan yang perlu dikembangkan. Kalimatnya seperti ini

Berilah kemerdekakaan kepada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Kemudian agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan masyarakat, maka dipakailah dasar kebangsaan, tetapi dasar tersebut jangan sesekali melanggar atau bertenatangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan

(Ki Hajar Dewantara)

Setidaknya ada 5 azas dalam ungkapan ini yakni, kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Visi Pendidikan Anak menurut Ki Hajar Dewantara

Menurut Ki Hajar Dewantara, ada 4 visi dalam pendidikan Anak, yakni;

  1. Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
  2. Mendidik anak agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, untuk menjadi kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka.
  3. Mengupayakan Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodrat, minat dan bakatnya sendiri.
  4. Memperluas pendidikan dan pengajaran karena sekolah yang disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas.
Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Baca Juga: Era Gemilang Sains yang Terlupakan

A. Historis Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara merupakan Pahlawan Nasional ke-2 yang di tetapkan Presiden pada tanggal 28 November 1959 berdasarkan SK Presiden RI No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Semasa mudanya Ia pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, di antaranya Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Dia merupakan seorang penulis yang handal.

Dalam tulisan kali ini kita akan membahas tentang gagasan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara untuk di jadikan bahan diskusi-reflektif berkaitan dengan (1) landasan historis tercetusnya filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, (2) substansi gagasan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, (3) implikasi teori-praktis gagasan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam praktek pendidikan.

Kami berharap, tulisan ini, dapat bermanfaat untuk di jadikan pijakan kontemplasi berpikir/bertindak kritis dalam mendukung pemahaman akan pondasi secara filosofis sistem pendidikan di Indonesia.

Baca Juga: Apa Visi Misi dan Tujuan Kemendikbud 2020 – 2024?

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia merupakan keluarga kraton Yogyakarta.

Ayah Ki Hajar Dewantara bernama G.P.H. Surjaningrat putra Kanjeng Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam ke-III. Ibunya adalah seorang putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu keturunan langsung Sunan Kalijogo (Darsiti Suratman, 1985: 2).

Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Ia berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanannya. Kemungkinan kal ini di maksudkan untuk bebas dan dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

1. Riwayat Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Dari berbagai sumber, kami dapat merangkum riwayat pendidikan Ki Hajar Dewantara:

  • Ki Hajar Dewantara pertama kali masuk Europeesche Lagere School (ELS). ELS ini merupakan sekolah dasar di Eropa (Belanda).
  • Setelah tamat dari Europeesche Lagere School, Ki Hajar melanjutkan pelajarannya ke STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Arsten), namun Dia tidak menamatkan pendidikannya di sana karena sakit.
  • Kemudian, Ki Hajar mengikuti pendidikan sekolah guru yaitu Lagere Onderwijs, dan berhasil mendapatkan ijasah.
    (Irna H.N., Hadi Soewito, 1985: 16).

2. Aktivitas di masa Penjajahan

Ki Hajar Dewantara merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia saat zaman penjajahan Belanda.

Berbagai macam cara yang di lakukan Ki Hajar dewantara demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sendiri.

Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.

Selain sebagai aktivis, ia juga bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Sebagai seorang wartawan tulisan-tulisan beliau di kenal sangat patriotik dan mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal seperti:

“Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: Als ik eens Nederlander was),

tulisan ini di muat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913.

Artikel ini di tulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Sindiran Ki Hajar Dewantara melalui tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar menyulut kemarahan Belanda, dan puncaknya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan agar Ki Hajar Dewantara dan kedua temannya dr. Tjipto Mangunkusumo dan dr. Douwes Dekker di asingkan. Ketiganya mendapat hukuman tanpa proses peradilan terlebih dahulu.

Pada 18 Agustus 1913, melalui surat dari wali negara, ketiganya di kenakan hukuman pengasingan;

  • Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara) di buang ke Bangka,
  • Tjipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan
  • Douwes Dekker ke Timur Kupang

3. Pendiri Indische Party

Mereka bertiga merupakan pendiri dan pemimpin Indische Party atau lebih di kenal sebagai Tiga Serangkai, yakni Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.

Namun, keputusan itu juga di sertai ketetapan bahwa mereka bebas untuk berangkat keluar jajahan Belanda. Sehingga, ini membuka peluang ketiganya untuk mengganti hukuman interniran dengan hukuman externir. Atas permintaan kedua rekannya yang juga mengalami hukuman pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka di alihkan ke negeri Belanda.

Masa pembuangan di negeri Belanda tidak di sia-siakan oleh Ki Hajar Dewantara. Dia kemudian mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh sertifikat Europeesche Akte (akte guru) pada tahun 1915.

Pada masa pengasingan di belanda, Ki Hajar Dewantara secara langsung bertemu dan belajar dengan tokoh-tokoh besar dalam bidang pendidikan Eropa pada masa itu. Tokoh-tokoh tersebutlah yang kemudian mempengaruhi cara pandang Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan, beberapa di antaranya adalah:

  • J.J. Rousseau,
  • Dr. Frobel, ahli pendidikan terkenal dari Jerman pendiri “Kindergarten”.
  • Dr. Montessori, sarjana wanita dari Italia pendiri “Casa dei Bambini”.
  • Rabindranath Tagore, pujangga terkenal dari India, pendiri perguruan “Santi Niketan”.
  • John Dewey, dan
  • Kerschensteiner.

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan, sebagai salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan.

Baca Juga: Bagaimana Profil Pelajar Pancasila?

B. Mendirikan Taman Siswa

Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya, Ki Hajar Dewantara mendirikan Nationaal Onderwijs atau kita kenal dengan Institut Taman siswa, atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya melalui Taman siswa, sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan.

Tulisan Ki Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu

tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan),
ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan,
ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).

Semboyan ini masih tetap di pakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa. Pada usianya yang genap 40 tahun, Ki Hajar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara.

Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara di angkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K. H. Mas Mansur.

Di masa kemerdekaan beliau di angkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia.

Tak berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei di peringati sebagai hari Pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.

C. Substansi Gagasan Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Terbelenggu dalam pusaran tirani penjajahan Belanda, telah mendorong Ki Hajar Dewantara untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.

Dengan berbagai ide yang di miliki dari Ki Hajar Dewantara ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat.

Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya di bangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.

Coba bandingkan dengan bentuk kelas kita dulu saat kecil. Empat dinding tembok, dengan jendela tinggi-tinggi, sehingga kita yang masih kecil tidak bisa melihat keluar. Lalu biasanya di dinding digantungi foto-foto pahlawan perang yang angker-angker, dari Patimura, Teuku Umar, Diponegoro sampai Sultan Hasanudin.

Jarang sekali ada yang memasang foto pujangga masa lalu seperti Buya Hamka, Ranggawarsito, Marah Rusli, dll. Paling-paling pujangga yang sempat di ingat anak-anak SD adalah WR Supratman. Konsep menyatunya kelas tempat belajar dengan realitas yang di tawarkan Ki Hajar, mungkin memang bukan orisinil dari Beliau.

Konsep atau istilah 3 dinding, menunjukkan betapa luasnya wawasan Beliau dan mampu mengadaptasi konsep tersebut dalam budaya Indonesia.

Menurutnya, Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

1. Lingkungan Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara

Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan organisasi pemuda, yang ia sebut dengan Tri Pusat Pendidikan.

a. Lingkungan Keluarga (Primary Community)

Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan keluarga berfungsi sebagai:

  1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak,
  2. Menjamin kehidupan emosional anak,
  3. Menanamkan dasar pendidikan moral,
  4. Memberikan dasar pendidikan sosial, dan
  5. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.

b. Lingkungan Sekolah

Tidak semua tugas mendidik dapat di laksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam ketrampilan. Karena jika di tilik dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap-sikap tertentu sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut Ki Hajar Dewantara Fungsi Sekolah antara lain:

  1. Membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik,
  2. Memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat di berikan di rumah,
  3. Melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan,
  4. Di sekolah di berikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan moral,
  5. Memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan kebudayaan kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya anak didik.

c. Lingkungan Organisasi Pemuda

Peran organisasi pemuda yang terutama adalah mengupayakan pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda. Melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan dengan sesama kawan (social skill) dan sikap yang tepat di dalam membina hubungan dengan sesama manusia (social attitude).

Ki Hajar Dewantara senantiasa melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.

Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.

3. Konsep Pendidikan yang Humanis

Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Inilah yang menurut Ki Hajar Dewantara harus di kembangkan karena pendidikan juga menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !

Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berpikir sendiri. Sistem pendidikan yang sebenarnya adalah bersifat mengasuh, melindungi, dan meneladani. Maka, untuk dapat mencapai ini perlulah ketetapan pikiran dan batin yang akan menentukan kualitas seseorang sehingga rasa mantap tadi dapat tercapai.

“Sifat umum pendidikan yang beliau canangkan adalah segala daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, (intelect), dan tubuh anak: dalam pengertian taman siswa tidak boleh di pisah-pisahkan bagianbagian itu, agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anakanak yang kita didik selaras dengan dunia-nya.”

Dari pernyataan ini dapat di simpulkan bahwa makna kata pendidikan jauh lebih luas daripada pengajaran. Pendidikan mencakup manusia seutuhnya, baik itu pendidikan intelektual, moralitas (nilai-nilai), dan budi pekerti.

D. Landasan filosofis pendidikan di Indonesia Menurut Ki Hajar Dewantara

Landasan filosofis utama pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ada tiga yakni, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Penjelasan tiga landasan filosofis utama dalam konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah:

1. Kebangsaan

Ki Hajar Dewantara sangat menekankan pentingnya pendidikan dalam membangun kebangsaan. Baginya, pendidikan harus mampu membentuk karakter warga negara yang cinta akan tanah airnya, memiliki rasa nasionalisme yang kuat, dan siap berkontribusi dalam memajukan bangsa.

2. Kebudayaan

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara juga sangat terkait dengan kebudayaan. Beliau percaya bahwa pendidikan harus memperkuat identitas budaya bangsa dan mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Pendidikan harus melibatkan dan memperkaya budaya bangsa dalam setiap aspek pembelajarannya.

3. Kemanusiaan

Ki Hajar Dewantara menekankan pada aspek kemanusiaan dalam pendidikan. Baginya, pendidikan seharusnya tidak hanya berkutat pada penguasaan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga harus menitikberatkan pada pembentukan karakter, moral, dan spiritualitas peserta didik. Pendidikan harus membantu manusia menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berempati, dan peduli terhadap sesama.

Dengan menggabungkan kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan dalam pendidikan, Ki Hajar Dewantara berusaha menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran akan identitas bangsa, budaya, serta nilai-nilai kemanusiaan yang kuat.

Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis.

Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.

Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.

Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah: ”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

E. Implikasi Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Setiap landasan filosofis dalam konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara memiliki implikasi yang penting dalam pembentukan sistem pendidikan. Berikut adalah implikasi dari setiap landasan tersebut:

1. Kebangsaan

  • Pembentukan Identitas Nasional: Implikasi utama dari aspek kebangsaan adalah pendidikan yang membantu peserta didik memahami sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang mendasari identitas bangsa mereka.
  • Patriotisme dan Kesadaran Kebangsaan: Pendidikan harus memupuk rasa cinta tanah air, kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta semangat untuk berkontribusi dalam memajukan negara.

2. Kebudayaan

  • Pemeliharaan dan Pengembangan Budaya Lokal: Implikasi dari aspek kebudayaan adalah pendidikan yang menekankan pentingnya memelihara, menghormati, dan mengembangkan budaya lokal serta tradisi yang menjadi bagian dari identitas bangsa.
  • Pendidikan Multikultural: Memahami, menghargai, dan merangkul keberagaman budaya dalam pendidikan, sehingga menciptakan lingkungan yang inklusif dan saling menghormati.

3. Kemanusiaan

  • Pembentukan Karakter dan Moral: Implikasi dari aspek kemanusiaan adalah pendidikan yang tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter yang baik, moral, dan etika yang kuat pada peserta didik.
  • Pembelajaran Holistik: Pendekatan pendidikan yang menyeluruh, memperhatikan aspek fisik, mental, emosional, dan spiritual peserta didik.

Implikasi dari setiap landasan filosofis ini mengarah pada penciptaan sistem pendidikan yang lebih luas dan inklusif, tidak hanya berfokus pada transfer pengetahuan saja, melainkan juga memperhatikan pembentukan identitas, karakter, dan nilai-nilai yang membangun pondasi yang kuat bagi individu dan masyarakat.

Dasar yang paling penting dalam pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah adanya persamaan persepsi antara penegak atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri.

Menurut Ki Hajar Dewantara mendidik itu bersifat humanisasi, yakni mendidik adalah proses memanusiakan manusia. Dengan adanya pendidikan diharapkan derajat hidup manusia bisa bergerak vertikal ke atas ke taraf insani yang lebih baik dari sebelumnya.

Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan, pendidikan mengarah pada memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Jadi jelaslah bahwa manusia yang merdeka adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak terganggu kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri.

Hal ini berarti, secara filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam konteks merdeka belajar sangatlah sesuai.

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12).

F. Konsep anak didik, pendidik, jiwa/raga, dan karakter dalam filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Menurutnya, adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.

Dari definisi pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci yaitu; „tumbuhnya jiwa raga anak‟ dan “kemajuan anak lahir-batin‟.

Dari dua kalimat kunci tersebut dapat dimaknai bahwa manusia bereksistensi ragawi dan rokhani atau berwujud raga dan jiwa. Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa meliputi “ngerti, ngrasa, lan nglakoni” (cipta, rasa, dan karsa).

Kalau digunakan dalam istilah psikologi, ada kesesuaiannya dengan aspek atau domain kognitif, domain emosi, dan domain psikomotorik atau konatif.

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik.

Anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti yang termaktub di awal, maka apa yang dikatakan kekuatan kodrati yang ada pada anak itu tidak lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuatan kodrat.

Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

Dari konsepsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Ki Hajar Dewantara ingin;

  1. menempatkan anak didik sebagai pusat pendidikan,
  2. memandang pendidikan sebagai suatu proses yang dengan demikian bersifat dinamis, dan
  3. mengutamakan keseimbangan antar cipta, rasa, dan karsa dalam diri anak.

Dengan demikian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara haruslah memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa. Tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge.

Akan tetapi, sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.

G. Tripusat atau 3 Pusat Pendidikan dalam filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hajar Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini di sebut “Tripusat Pendidikan”.

Tripusat Pendidikan mengakui adanya 3 pusat pendidikan yaitu;

  • Pendidikan di lingkungan keluarga,
  • Kedua, pendidikan di lingkungan perguruan, dan
  • Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda.

Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia.

Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata).

Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.

Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan.

Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat di ikuti serta di amati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak di capai.

Pamong sebagai pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.

1. Teori Trikon dalam filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Selain tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.

a. Dasar Kontinuitas

Dasar kontinuitas berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya
kontinu, bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu bangsa di tarik terus.

Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya. Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya, yang di tarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar.

Dengan demikian, kontinuitas dapat di artikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.

b. Dasar Konsentris

Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat di ambil dan di terima, setelah di cerna dan di sesuaikan dengan kepribadian bangsa.

Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa, meskipuntidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.

c. Dasar Konvergensi

Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa lain di usahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing.

Kekhususan kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus di tiadakan, demi membangun kebudayaan dunia.

Dari pernyataan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam mengembangkan karakter dan membina kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas).

Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang masuk, harus bersikap terbuka, di sertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri.

Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hajar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan.

G. Proses Pendidikan dalam Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan di wajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).

1. Ing Ngarsa Sung Tuladha

Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat di jadikan sebagai “central figure” bagi siswa (Among).

2. Ing Madya Mangun Karsa

Mangun karsa berarti membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal (Momong)

3. Tutwuri Handayani

Tutwuri berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang.

Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya (Ngemong).

Cara mendidik menurut Ki Hajar Dewantara disebutnya sebagai “peralatan pendidikan”.
Menurut Ki Hajar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut di perhatikan, yaitu

  • Memberi contoh (voorbeelt),
  • Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming),
  • Pengajaran (wulang-wuruk),
  • Laku (zelfbeheersching),
  • Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa)
    (Ki Hajar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Taman siswa, 1977: 28).

Ki Hajar Dewantara sebenarnya bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Melansir laman Kemdikbud, Ki Hajar Dewantara melahirkan sistem pendidikan nasional bagi kaum pribumi dengan nama Taman Siswa.

Perguruan Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta. Taman Siswa ini mengajarkan kepada pribumi tentang pendidikan untuk semua yang merupakan realisasi gagasan dia bersama-sama dengan temannya di Yogyakarta.

Sekarang Taman Siswa mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.

G. Kesimpulan

Gagasan-gagasan filosofis Ki Hajar Dewantara telah menjadi pondasi yang cukup kokoh dalam praksis pendidikan di Indonesia, meskipun dalan pengejewantahannya dewasa ini sering terinfiltrasi oleh determinasi filosofi Barat.

Munculnya degradasi nilai dalam masyarakat sebagai akumulasi proses pendidikan yang lebih mengedepankan transformasi knowledge dari pada transformasi value dalam sistem pendidikan, telah menyentakan pemangku pendidikan di Indonesia untuk meletakkan kembali pilar filosofi kendidikan yang di cetuskan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia.

Pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik maupun potensi cipta, rasa, maupun karsanya agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal maka dalam pemecahan masalah-masalah pendidikan yang komplek juga di butuhkan filsafah-filsafah agar solusi pemecahan masalah tersebut juga dapat di rasakan manfaatnya bagi semua pihak.

Salah satu tokoh yang memiliki filsafah pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara, beliau adalah seorang bangsawan dari lingkungan Kraton Yogyakarta yang peduli dengan lingkungan pendidikan.

Dari uraian di atas, mudah-mudahan teman-teman dapat memaknai, memahami pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menjadi landasan filosofis sistem pendidikan di Indonesia.

Harapannya, setelah membaca artikel ini teman-teman dapat mengembangkan model pendidikan karakter menurut atau berdasarkan pemikiran Ki Hajar Dewantara, filosofi pendidikan ki hajar dewantara terkait olah rasa, olah pikir dan orah raga, memahami filosofi pendidikan karakter ki hajar dewantara dan membuat kesimpulan tentang intisari filosofi pendidikan ki hajar dewantara dan kaitannya dengan profil pelajar pancasila.

Sumber Rujukan

  • Darsiti Suratman. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Majelis Pendidikan dan Kebudayaan. 1985.
  • Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka. 1985.
  • Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: . 1977.
  • Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo. Masalah-masalah Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Haji Masagung. 1989.
  • Ki Suratman. Pokok-pokok Ketamansiswaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1987.
  • Sugiarta, I Made, dkk. Filsafat Pendidikan Kihadjar Dewantara (Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia. Vol. 2. No. 3. 2019
  • 9MLPTS. Peraturan Besar dan Piagam Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta: MLPTS.1992.

Demikian, Semoga bermanfaat.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

close
Index